<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Bangga Produk Sendiri

Tuesday, May 27, 2008
Aku suka sekali jalan sore-sore. Nah, ceritanya, setelah selesai ujian, aku tidak langsung pulang. jalan-jalan dulu ke belakang Azhar, samblil lihat-lihat buku. Hmmm...cuman lihat-lihat aja sih, soalnya budget untuk beli buku bulan ini kan dah ga ada. Coz harus perhitungan juga, karena harga-harga sekarang sudah di luar batas kewajaran. Melangit dan mencekik.

Setelah selesai melihat-lihat, kurang sempurna rasanya kalau tidak mampir ke masjid Azhar. Menenangkan diri dengan menunaikan kewajiban. Setelah selesai menunaikan kewajiban, ada dua orang Mesir yang datang menghampiriku. Awalnya, aku ga respect banget. Sebab, sudah merasa kapok dengan kebanyakan orang Mesir. Rata-rata cuman pengen cari perhatian, cuman nanya jam [padahal mereka pake jam tangan], atau cuman pengen iseng aja. Tapi kali ini laen. Dia nanya tentang asalku; Indonesia. Tidak seperti kebanyakan Mesir lainnya yang selalu nanya orang asia dengan sebutan maliziy (sebutan orang Mesir buat orang Malaysia). Dan tentu saja aku respect. Mana ada ketika orang ditanya asal daerahnya diem aja.

Nggak tahu kenapa, akhirnya aku jadi seperti penjual jamu. Nyerocos nggak karuan. Ya, tentu saja karena lawan bicaraku ini cukup antusias mendengarkan aku nyerocos ke barat dan ke timur. Akhirnya, sampailah pada percakapan yang sangat...., Hmmm...sangat mengharukan. Dia nanyain, tentang produk Indonesia di sini. Ya aku jawab saja, banyak. Ada pasta gigi, ada ban mobil, ada makanan, ada peralatan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kemudian dia nanyain barang-barang yang aku pakai. Upss...dari bawah ke atas hingga ke bawah lagi, ga ada yang asli bikinan Indonesia. Wah...wah..., lalu aku tanya balik. Ternyata yang dia pakai adalah produk negara mereka sendiri; Mesir, kecuali satu. Sesuatu yang melingkar di pergelangan tangannya; jam tangan. Menurutnya, dia memang sengaja membeli jam tangan itu dari luar karena di Mesir ini belum ada yang bisa membuat jam tangan yang bisa dipakai melebihi dua bulan. Ya, mirip-mirip buatan Cina gitu deh. Gitu katanya. Lalu aku bilang saja, Kalau Indonesia disuruh bikin jam karet, pasti tidak terkalahkan. Lalu kita tertawa terkekeh-kekeh berbarengan.

Nah, lepas dari semua itu. Pikiranku kemudian terbang ke sebuah pertanian di Indonesia, dimana sang petani menggunakan baju berlabel amerika, celana pendek buatan Prancis, yang sedang membajak sawah dengan sapi australia, dan bajaknya buatan Thailand. Huhuhu. Setelah Cape, sang petani duduk-duduk dengan cara bersila di gubuk sambil makan nasi impor dari Thailand, dengan lauk tempe [yang katanya sudah menjadi milik jepang] sambil melihat petani lain yang sedang mencangkul dengan menggunakan cangkul bermerk buatan Cina. Bosen memandang Pencangkul, ia kemudian menyalakan rokok cerutu buatan itali sambil menghirup kopi Brasil. lalu mengalihkan matanya kepada istrinya yang sedang memompa air dengan pompa buatan Singapura dan menyanyikan lagu rasa sayange yang sudah menjadi milik Malaysia.

Huh...Bangga sekali aku jadi orang Indonesia.

Cappe Deh...

Sori, bukan mau sok-sokan. Emang saat ini, banyak kejadian yang membuat kita harus berpikir keras. Lebih keras. Lebih Keras lagi, yang ujung-ujungnya, kita ngucapin "Cappe deh..."

Gimana enggak, coba bayangkan![tunggu ya, aku mo oo' dulu, nunggu kalian bayangin dulu] harga BBM melambung tinggi dan angin-anginan di puncak kejayaannya. Karena semuanya butuh minyak, bensin, solar, atau bahasa kerennya bahan bakar, maka secara otomatis barang-barang yang lain ikut merasa harus mbuntut di belakangnya. Akhirnya, dengan sendirinya, harga-harga ikut melambung tinggi.

Nah, fenomenanya, kalau BBM naik, yang lebih terasa terlebih dahulu, adalah keikutsertaan naiknya harga bahan-bahan pokok, atau yang biasa disebut oleh kebanyakan orang sebagai SEMBAKO [bacanya; Sembilan Bahan Pokok]. Nah lagi, kalau sudah urusan SEMBAKO, yang merasakan dampaknya adalah para ibu-ibu rumah tangga dan janda-janda yang hidup sendirian. Mereka harus memutar otak lebih kenceng lagi agar budget keuangan mereka bisa memenuhi anggaran rumah tangga. Mungkin karena saking nggak sanggupnya, para ibu-ibu ini kemudian saling membisiki tetangganya, teman-teman ngerumpinya, kawan-kawan arisannya, juga sahabat-sahabat PKK-nya, dan juga [mungkin] partner maen golfnya, untuk berunjuk rasa. Lalu menentukan hari yang sudah disepakati. Pada hari H, semua ibu-ibu turun ke jalan, meluber, dan meneriakkan tuntutan-tuntutannya dengan gaya khas ibu-ibu. Bisa sambil menggendong bayi, menggendong jamu, atau malahan menggendong suaminya [kuat ga ya?]. Yah, namanya juga ibu-ibu kalau sudah beraksi, pasti dari yang lain. Kan kita semua tahu, yang berunjuk rasa bukan hanya ibu-ibu, ada mahasiswa, ada bapak-bapak, ada sopir-sopir dan lain-lainnya. Tapi, kalau yang berunjuk rasa adalah ibu-ibu kenapa kok jadi menarik ya? Mungkin karena jarang sekali kita menemukan ibu-ibu yang rela mengorbankan waktu nonton sinetronnya, waktu memasaknya, waktu arisannya, kegiatan pengajiannya, arisannya, dan berbagai pekerjaan rumah tangganya dengan kegiatan yang menarik perhatian orang banyak. Misalnya, nari di depan umum, atau unjuk rasa seperti yang terjadi hari minggu (25/5) kemarin ini. Lucu memang. Tapi...tapi...tapi...luput dari semua itu, pemerintah kita lebih lucu lho. Hehehe

Yah, mo gimana lagi. Harga minyak Dunia melangit, pantesan kalau BBM melejit, sehingga menyebabkan rakyat menjerit.

Huh...Cappe deh...

Kerjaaaaa...

Tuesday, May 20, 2008
Pada suatu kesempatan, guruku menjelaskan tentang bagaimana kita menghadapi hidup. Menarik sekali. Apa-apa yang dia lontarkan, seakan mutiara yang berhamburan di depan mata. Tapi tiba-tiba seorang teman berontak. Ia nyeletuk tidak terima. Ia habis-habisan melawan sang guru. Hingga akhirnya ia dikeluarkan dari kelas.

Ketika istirahat, aku menemui teman yang dikeluarkan tadi.
“Kenapa kamu melawan sampai segitunya? Bukankah yang dilontarkan guru kita seperti mutiara?” tanyaku.

Ia hanya tersenyum melihat ke arahku. Mungkin ia menganggap pertanyaanku terlalu lucu untuknya. Ia kemudian menatapku serius.
“Dia itu cuman manis di bibir saja. Selebihnya racun.”

Kata-katanya benar-benar membuatku harus berpikir keras. Dahiku mengkerut hebat. Tapi kemudian ia melanjutkan,

“Kamu tahu kan, guru kita itu seorang perokok?”
“Iya”
“Seorang yang suka terlambat sholat?”
“Iya”
“Nah, itu sebenarnya yang ingin saya ingatkan”
“Maksudnya?” Aku tidak mengerti
“Dia melarang kita merokok, tapi dia merokok. Dia melarang kita terlambat sholat, tapi dia sendiri terlambat. Makanya saya berharap dia tidak begitu”
“Lho?” Aku tambah bingung
“Ya, seseorang tidak mendapatkan dari apa yang dia harapkan, tetapi akan mendapatkan dari apa yang dia kerjakan. Gitu aja susah”
“Ooo, “ Aku pura-pura mengerti.

Kebangkitan Nasional

Apa-apa yang kau ucapkan ternyata memang benar. Semuanya benar. Kali ini aku benar-benar melihat secara nyata, bahwa bangsa kita masih belum bisa bangkit secara utuh. Kalaupun dikatakan bangkit, bangkitnya pun terseok-seok. Bukan karena apa, karena yang dipakai semuanya barang impor. Negara kita adalah negara maritim, punya banyak laut, tapi garam saja kita musti impor dari luar. Sawah kita menjulang di seluruh nusantara, tapi beras harus mendatangkan dari Thailand.

Aku sendiri belum sepenuhnya mengerti, kenapa SDM kita yang menonjol justru dibiarkan membesarkan negara lain. Aku juga kurang mengerti, mengapa produk kita bisa diakui oleh negara lain. Lho, kamu belum tau, kalau tempe kita ternyata diaku-aku oleh jepang, terus lagu rasa sayang dihak-i Malaysia? Ah, mungkin pemerintah melihatnya hanya sebuah produk. Yang direbut kan bukan negara, bukan tanah air. Kalau tanah air, kalau negara, tunggu dulu, harus pake duit, mungkin begitu pikir para pejabat kita.

Fenomena ini sangat lucu. Kita tiap tanggal 20 Mei merayakan hari kebangkitan nasional, tapi sampai sekarang, negara kita selalu berada dalam keadaan terpuruk. Gimana bisa bangkit, kalau semua yang bisa membangkitkan tidak mendapatkan perhatian. Hehehe, kalau jadi pejabat kan, modalnya cuman bermental baja aja. Maksudnya kuat untuk nyuekin para demonstran, kuat melihat kemiskinan, kuat makan di restoran gede, kuat naik mobil mewah, dan kuat diolok-olok sebagai koruptor.

Namun, tentu saja keadaan yang terpuruk ini bukan tidak ada jalan keluarnya. Semuanya yang menyebabkan demikian ini kan, tidak mungkin dari Tuhan. Dengan kata lain, manusia itu sendiri, atau lebih tepatnya warga kita sendiri. Nah, tentu saja kita harus instropeksi diri. Sudah siapkah kita untuk benar-benar bangkit? Kalau masih belum siap, ya, mari kita kumpulkan kekuatan untuk bangkit. Dengan cara apa saja. Kalau perlu, kita panggil semua orang-orang hebat kita sendiri (nggak usah orang luar dulu) untuk diajak membangkitkan negara kita yang terpuruk ini.

Apa kita nggak merasa miris dengan semua keterpurukan negara tercinta kita ini?

Sudah pendidikan kacau balau, moral amburadul, kita masih dihadapkan dengan serangkaian berita yang seharusnya tidak jadi berita.

Siapa lagi yang akan menata masa depan negara kita tercinta kita ini, kalau bukan kita sendiri?

SELAMAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL 20 Mei 2008

Serak

Tuesday, May 06, 2008
Subuh ini aku tidak bisa berkata-kata. Suaraku habis ditelan duka.

Sepulang Mengaji

Hari itu, sepulang mengaji dari langgar tempat kita bersama-sama belajar membaca al-quran, kita berjalan bersama. Tentu saja karena arah rumah kita satu arah. Dalam perjalanan, kau banyak bercerita. Tentang ayahmu yang seorang penyair, tentang ibumu yang pandai menjahit, tentang kakakmu yang hampir lulus kuliah, tentang adikmu yang suka merengek, dan juga tentang dirimu yang [menurutmu] nggak jelas. Aku tahu, kau bercerita tentang itu karena sudah tidak ada bahan lain lagi untuk diceritakan. Semuanya telah kita habiskan di langgar tadi. Dan dalam perjalanan ini, kau harus tetap bercerita untuk mengusir rasa takutmu. Ya, kamu selalu merasa ketakutan di kegelapan malam.

"Tenang saja, tidak perlu takut, ada aku," aku mencoba menenangkanmu. Seolah menjadi pahlawan yang selalu terlambat datang.

Aku cukup mengerti, bukan tanpa alasan kau selalu bercerita kepadaku. Itu semua karena kau percaya, bahwa aku adalah tempat yang aman untuk menumpahkan segala isi hatimu. Juga tempat yang paling aman untuk menyimpan rahasiamu.

Namun yang tidak bisa aku mengerti, kenapa kau selalu menghindar ketika aku menanyaimu tentang gigimu yang hilang itu?