<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Latihan Kaya

Friday, December 18, 2009
Rokim adalah seorang penjual kain yang sukses, urusan finansialnya bisa dibilang lancar-lancar saja. Saat ini, ia mempunyai dua BlackBerry, sepeda motor Honda MegaPro dan Yamaha Viction, Mobil Toyota Kijang LGX, dan tentu saja rumah dan segala perabotnya. Selain itu, ia juga mempunyai istri yang cantik dengan satu buah hatinya yang masih berusia lima tahun. Pokoknya, yang namanya Rokim ini tidak pernah kesusahan dengan urusan keuangan. Suatu waktu, disebuah warung kopi, ia bertemu dengan seorang pria penarik becak yang sudah dikenalnya.

“Sekarang Pasar sudah sepi, Cak. Nggak seperti dulu,” Rokim memulai obrolan sambil menghisap asap Marlboro-nya dalam-dalam.
“Hehe...walaupun pasar sepi, alhamdulillah tadi saya dapat tiga penumpang,” si tukang becak membalas dengan nada cerita.
“Wah, kalau begitu sampean untung besar dong hari ini”
“Wah, kalau bagi saya sih sangat besar, dan saya sangat bersyukur. Tapi bagi sampean kayanya tidak seberapa, soalnya kalau pedagang kain kan untungnya bisa sampai ratusan ribu, bahkan jutaan...”
“Nggak juga, Cak. Sama saja”
“Hehe. Tentu saja tidak sama. Saya, dengan menarik tiga penumpang tadi, dapat dua puluh lima ribu rupiah. Dan itu, bagi saya sudah banyak”

Tiba-tiba ada seorang pengamen datang. Baru saja si pengamen menggenjreng gitar, si tukang becak langsung memberikan uang seribu rupiah. Pengamen pun langsung pergi.

“Seharusnya sampeyan tidak perlu memberi uang kepada dia,” Rokim mencoba memberikan nasehat kepada tukang becak.

Si tukang becak belum sempat menjawab, datang seorang anak kecil dengan pakaian lusuh. Ia meminta belas kasihan orang-orang warung, tapi tak ada satupun yang hirau. Si tukang becak kemudian mengambil uang lima ribuan, lalu memberikan kepada bocah peminta tersebut. Dan bocah peminta pun berlalu dengan mendoakan si tukang becak dan ucapan terima kasihnya yang berulang-ulang.

“Maaf, Mas Rokim, tadi sampeyan nanya apa?”
“Tidak. Saya tadi tidak bertanya. Tapi sekarang saya mau bertanya, kenapa sampeyan memberi uang kepada pengamen dan peminta-minta tadi ?”
“O, ya, saya ingat ucapan sampeyan tadi. Sebelum saya menjawab, baiknya saya tanya dulu, kenapa sampeyan menasehati saya untuk tidak memberi uang kepada pengamen tadi?” si tukang becak balik bertanya, lalu menyeruput kopi yang ada di hadapannya.
“Ya, menurut saya, pengamen tadi masih muda, punya tenaga, dia masih kuat untuk bekerja yang lebih layak ketimbang mengamen. Dan menurut saya, dengan sampeyan memberikan uang kepada dia, itu artinya sampeyan ikut mendukung dia untuk tetap menjadi pengamen,” jelas Rokim panjang lebar ”Sekarang giliran sampeyan menjawab pertanyaan saya tadi,” lanjutnya.
“Hmm, begitu ya. Tapi saya malah punya pandangan lain, Mas. Begini, saya rasa tidak ada orang yang punya cita-cita untuk menjadi pengamen atau seperti yang sampeyan lihat tadi; pengemis. Tidak ada. Tidak ada di dunia ini, orang yang bercita-cita untuk jadi pengemis,” tukang becak mempertegas kata-katanya, lalu ia melanjutkan, “Saya sendiri, kalau ada pekerjaan yang lebih baik, saya akan meninggalkan profesi tukang becak ini. Cuman masalahnya, orang-orang seperti mereka itu tidak punya kesempatan. Keadaan yang memaksa mereka untuk menjalani semua itu, Mas Rokim,”
“Trus, kenapa sampeyan memberi uang kepada mereka?” Rokim mengejar, ia merasa pertanyaannya masih belum terjawab.
Si tukang becak tertawa terkekeh-kekeh.
“Hehehe...Ternyata, penjelasan saya tadi masih belum bisa sampeyan terima sebagai jawaban. Jadi begini, Mas. Saya biasanya sehari hanya dapat uang lima belas ribu sampai dua puluh ribu rupiah saja. Tapi tadi, belum saja lohor, saya sudah mendapat uang dua puluh lima ribu rupiah. Dan siang ini, ternyata ada orang yang menjemput bagiannya yang telah dititipkanNya kepada saya.”
“Maksudnya?” Rokim kebingungan, dahinya berkerut.
“Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan lebih detail lagi, intinya, saya sedang berlatih menjadi orang kaya, Mas. Mensyukuri apa yang telah dianugerahkan oleh yang maha menganugerahi kepada saya. Maaf saya harus pamit dulu, sudah waktunya shalat,” tanpa menunggu jawaban, si tukang becak bergegas ke kasir; membayar uang kopinya dan sekalian kopi Rokim; berkata kepada Rokim “Sudah saya bayar kopinya, Mas” ; lalu ngacir ke Masjid yang tidak jauh dari warung kopi tersebut.

Sementara Rokim hanya menahan senyum; sedikit tersinggung; dalam hatinya ”Gaya thok, melarat ae sek nge’i wong liyo. Gak kiro sugih lek carane ngono, Koen. Iki Indonesia”; Lalu hatinya beristighfar “astaghfirullahal adhiiiiiim, ngomong opo aku iki. Koyo’e omongane Cak Odan akeh benere, astaghfirullahal adhim, wayahe lak aku sing mbayari, astghfirullahaladhim”; istighfar lagi; istighfar lagi; lagi; dan lagi; mata Rokim terus mengekori punggung tukang becak dengan becaknya yang kemudian menghilang memasuki pelataran masjid.

****

Buat yang bukan orang jawa aku tulisin terjemahan bebasnya yah. O ya, sampe lupa. Buat yang semua yang baca blog ini, Aku ucapin SELAMAT TAHUN BARU HIJRIAH 1431 H. Semoga dosa-dosa yang kita perbuat di tahun kemarin diampuni (semua orang juga mau kaleeeeeeee), Kebenaran bisa ditegakkan setegak-tegaknya di negeri ini (amieeeeeeeeeennnnnnn), dan tentunya, kita bisa mengevaluasi diri kita masing-masing. Jadi, yang malas, ayo rajin; Yang bolong lima waktunya, ayo kita tambal dan perbaiki; Yang Bohong, mulai sekarang jujur, Yuk; Yang nganggur, kerja yuk ( :-) ) ; Yang mbolosan, sekolah-lah; Yang sayang, Ehem...ehem.. (:D); Yang Cinta, Gombal (jangan mau digombalin); Yang kebelet, Kawin Yuk...(Suit-suit...asyik...asyik...undangannya mana?); Ah udah..ah, becanda mulu dari tadi. Maaf ya. Maaf. Happy New Year deh.

Daaaaa !

Terjemah Teks Serampangan:

melarat ae sek nge’i wong liyo. Gak kiro sugih lek carane ngono, Koen. Iki Indonesia : (Jawa) Melarat aja masih ngasih orang. Nggak mungkin kaya kalau begitu caranya, Kamu. Ini Indonesia.
ngomong opo aku iki. Koyo’e omongane Cak Odan akeh benere: (Jawa) Ngomoang apa saya ini. Kayanya omongannya Cak Odan banyak benarnya
wayahe lak aku sing mbayari: (Jawa) seharusnya saya yang membayarkan/nraktir

Orang Pasar

Kalau kau punya waktu senggang, sekali-kali pergilah ke pasar. Di sana, kau akan menyaksikan betapa sederhananya hidup ini. Di pasar, hidup adalah jual-beli, tawar-menawar, dan tentu saja transaksi utang-piutang. Ya, sederhana. Sangat sederhana.

Berdiri di tengah hiruk-pikuknya pasar membuat saya sadar, bahwa kenyataannya; arus perubahan itu sangatlah cepat. Ya, sangat cepat. Secepat naik turunnya harga. Dan tentu saja arus perubahan itu sangat berpengaruh pada kehidupan bersosial dan cara saya bermasyarakat. Misalnya saja ketika saya melihat ada orang bermain curang dalam menakar timbangannya, atau melihat orang-orang tua yang bermain kata dengan dagangannya. Alih-alih mau bertransaksi, yang terjadi malah berprasangka buruk; ngrasani. Dan kalau sudah begitu, maka dengan kecepatan cahaya, informasi-informasi itu akan menyebar ke seluruh penjuru. Maka Pasar akan ramai. Orang-orang saling ngrasani. Si ini curang dalam timbangannya, si itu tidak sesuai antara omongannya sama barang dagangannya (misalnya: dagangannya banyak yang masam, dibilang manis semua). Semua itu tentu saja tidak akan hanya berhenti di Pasar. Orang-orang pasar akan segera menyebarkan informasi itu ke tetangga-tetangganya, sanak saudaranya, dan semua orang yang ia temui. Lalu akan ada rekomendasi “lebih baik beli di bapak ini atau ibu itu. Dia pedagang yang jujur...bla..bla..bla,” dan seterusnya. Maka dengan sendirinya, saya dan orang-orang yang tahu akan segera mengucilkan, atau bahasa kasarnya akan memboikot barang dagangan si orang yang digunjing tadi. Lalu kami beramai-ramai pindah kepada saingan-saingan si tergunjing. Atau akan mengikuti rekomendasi-rekomendasi orang-orang terdekat.

Itulah hukum sosial orang-orang pasar. Mau tidak mau, orang yang berlaku tidak adil akan diperlakukan tidak adil pula. Tidak seperti hukum kita; hukum Indonesia, kalau kepada orang kecil hukum berdiri setegak-tegaknya, tapi kalau kepada orang yang berkedudukan, prosesnya njlimet seperti benang kusut. Perlu ada panitia dulu. Ujung-ujungnya nggak terurus juga. Jadi seperti di hutan saja.

Jadi, di sini, di bumi Indonesia ini, hukum yang berlaku adalah hukum “Rimba”. Siapa yang kuat, ialah yang menang; siapa yang punya “duit”, walaupun dia salah, bisa jadi benar. Hahaha.

Yah, kalau saya sih bukan siapa-siapa. Jadi, walaupun seperti ini keadaannya, saya harus tetap memaksa diri saya untuk tetap merasa bangga telah menjadi bagian dari republik ini. Mau tidak mau, saya ini tetap orang Indonesia. Ya, saya masih orang Indonesia yang berada di banyak barisan, dan termasuk barisan “pasar”-nya itu.