<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Telpon Genggam

Sunday, October 03, 2010

-----Inilah dunia perubahan. Dunia komunikasi tanpa kabel yang sangat berpengaruh terhadap perilaku orang-orang sekitar. Ya, inilah dunia telpon genggam.------

Semakin hari semakin berkembang saja dunia ini. Ya, di jaman sekarang ini, siapa yang tidak mengenal telpon genggam. Rasanya tidak ada yang tidak mengenal produk luar biasa ini. Produk yang bisa membuat orang yang satu dengan yang lainnya berkomunikasi walaupun tidak di dalam satu tempat, wilayah, negara, atau benua dengan tanpa menggunakan kabel. Bahkan pemulung, tukang becak, pengemis, telah mengenal benda berteknologi tinggi ini, apalagi yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi dari mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah pemulung, tukang becak, dan pengemis itu ternyata tidak hanya mengenal, tapi mereka memiliki dan bisa mengoperasikan perangkat komunikasi tersebut.

Di pasaran, permintaan telpon genggam sangatlah tinggi. Makanya, banyak sekali produsen-produsen mulai melirik produk yang satu ini. Fitur-fitur yang disediakan sangat beragam dan menarik. Harganya pun sangat beragam: ada yang murah, tengah-tengah, mahal, dan sangat mahal. Tapi itu kan tidak penting, ukuran mahal dan tidak mahal kan tergantung pada siapa subyeknya.

Dalam perkembangannya, ternyata ada dampak yang tidak pernah kita sadari. Perlahan tapi pasti, dampak itu mulai kita rasakan. Seperti yang dirasakan oleh seorang Saminah terhadap Samingan.

“Mas...!” Saminah memanggil mesra ke arah Samingan.

Bersamaan dengan itu, ringtone Jadikan aku yang kedua-nya Astrid berdering nyaring.

“Sebentar ya, sayang. Mas angkat telepon dulu, ya,” Samingan izin.

“I.., ” belum lengkap kalimat Saminah, Samingan sudah mulai asyik bercakap-cakap dengan lawan bicaranya menggunakan telpon genggamnya. “Iy...yaa,” Saminah melanjutkan ucapannya yang belum lengkap dengan suara yang hampir tak terdengar sambil memegangi bibirnya. Kemudian Saminah mengalihkan perhatiannya kepada buku yang ada di tangannya sambil sesekali mendengarkan suara keras Samingan yang sedang berbincang dengan telpon genggamnya.

“Iya, tapi kan tidak mesti hari ini. Masih ada besok, kan?”

Nadanya agak keras, lalu ia melanjutkan, “O..begitu, ya sudah. Nanti aku hubungi lagi”

Samingan menyudahi percakapan.

“Dari siapa mas?”

“Itu, dari kantor”

“Hmmm...Mas, adek ingin bicara sama Mas,” dengan lembut Saminah mendekati Mingan.

“Ada apa, Dek? Bicara saja.“

“Sebenarnya begini, Mas. Minah ... ”

Belum sempurna Saminah menyelesaikan kalimatnya, telpon genggam Samingan berbunyi kembali. Kali ini, Samingan langsung menerima panggilan telpon dan tidak menghiraukan untuk izin kepada Saminah. Samingan kembali larut dalam perbincangan melalui sinyal dan gelombang. Setelah selesai Samingan kembali menghadapkan wajahnya kepada Saminah. Sebenarnya, Saminah merasa agak kesal dengan tingkah laku Samingan. Tapi rasa itu ia simpan saja di hati dan tidak ia tampakkan kepada Samingan.

“iya, begini lho, Mas...”

Telpon genggam berbunyi lagi. Samingan langsung menerima. Saminah kesal. Setelah selesai, dengan cepat Saminah mengajukan pertanyaan.

“Mas, mana yang menurut Mas lebih penting, orang yang di depan Mas, atau yang di seberang?”

Samingan belum sempat menjawab, telpon genggamnya berdering lagi. Samingan menerima lagi. Saminah bertambah kesal dan meninggalkan Samingan sendirian. Setelah selesai bercakap-cakap, Samingan baru menyadari kalau Saminah telah pergi. Ia bingung bukan main. Ah, manusia memang seperti itu, masih ada disia-siakan, sudah tiada, dicari-cari; merasa kehilangan. Fyuh....

Telpon genggam Samingan berdering kembali. Kali ini ia hanya melihatnya dengan tatapan kosong. Ia melihat sebuah nama dalam telpon genggamnya yang seolah mengejek, “Kacian deh lo,” sebuah nama yang ia tulis untuk temennya yang beberapa waktu lalu ditolak cewek. Kali ini kalimat itu seperti mengejek dirinya. Ia hanya melihat layar telpon genggamnya berkedip-kedip, bergetar, dan alunan ringtone jadikan aku yang kedua-nya astrid mulai memenuhi telinganya.

Jadikan aku yang kedua

Buatlah diriku bahagia

Walauku pun tak kan pernah

Milikimu selamanya

Suatu Sore di Toko BUku

Sore hari selepas shalat ashar, Samina mengajakku untuk menemaninya ke sebuah toko buku. Tanpa banyak kata, aku mengiyakan. Sebenarnya, aku memang sudah berniat beberapa hari yang lalu untuk belanja buku. Kebetulan, jadi belanjanya bisa barengan. Dan kami pun sepakat untuk bertemu di toko buku SINAR ABADI yang berlokasi di dekat kampus.

Suasana di toko buku itu sangat ramai. Banyak mahasiswa yang sedang asyik mengamat-amati dan membaca-baca sampul buku. Entah mereka berniat membeli atau hanya ingin membaca saja.

“Selamat sore, Cinta,” sapaku kepada Samina yang tengah asyik membaca bagian belakang sebuah buku.
“Hey, kamu, Ngan. Udah nyampe rupanya,”
“Emang kamu mau nyari buku apa sih Min? Perasaan baru kemarin kamu belanja buku.”
“Hmm...Ya, begini ini seharusnya mahasiswa. Menurutku, tabungan mahasiswa itu ya buku. Ilmu. Makanya, setiap aku punya uang, aku akan selalu menyisihkan sebagiannya untuk membeli buku. Bukan buat rokok”
“Nyindir nih, ceritanya? Dasar, mentang-mentang kutu buku. Emang kamu mau ngerokok? Kamu kan cewek. Ya, tapi begini-begini, aku juga rutin belanja buku, lho. Walaupun pada kenyataannya belanjaku tidak sebanyak belanjaan kamu. Hehehe. Maklumlah....” Samingan mengubah intonasi dan mimiknya seperti seorang penceramah yang sedang verada di atas mimbar.
“Maklum apa? buat beli rokok?” Samina, menekuk pidato Samingan.
“Ya, bukan itu lah, Min. O, ya begini nih. Sebenarnya, aku membeli rokok itu bukan tidak ada gunanya.”
“Maksudmu?”
“Ya, aku beli rokok itu kan buat membuka pikiran.”
“Apa hubungannya rokok sama membuka pikiran?”
“Wah, kamu kutu buku, tapi hal semacam itu saja kamu tidak mengerti, gimana sih? Begini lho, Min,” Samingan mengubah mimik mukanya menjadi sangat serius.
“Iya, gimana?” Samina merasa sangat penasaran.
“orang yang menuntut ilmu itu kan ibarat lebah. Ia harus makan yang baik-baik, dan mengeluarkan yang baik juga. Ya, makanan yang saya maksudkan adalah makanan buat otak, yang berupa ilmu. Ilmu itu bisa didapatkan dari berbagai hal, salah satunya lewat membaca buku,”
“ya, trus...”
“Nah, yang aku tahu, tapi jangan tersinggung ya....”
“apa?”
“Iya, tapi jangan tersinggung ya...”
“Oke deh, tapi kalau nanti tetap tersinggung gimana?” Samina menggoda.
“Ya, sudah. Berarti nggak aku terusin...” Samingan mengunci kata-katanya.
Samina mengembangkan senyum pura-pura yang paling manis yang ia miliki beberapa detik ke arah Samingan. Samingan hanya menunggu aksi Samina selanjutnya sambil mengerutkan dahi. Kemudian Samina berucap, “Iya deh, aku ga akan tersinggung”
“Bener?”
“Bener”
“Janji?”
“Janji”
“Baiklah, Begini. Yang aku tahu, selama ini kamu tuh rajin banget ngasih makan otakmu, rajin banget membaca, tapi kok aku tidak pernah lihat kamu menulis ya? Nah, mengenai rokok yang membuka pikiran itu ya seperti ini. Rokokku itu punya peran penting dalam proses menulisku.”
“Apa !!!? Cuman mau berkata itu, kamu meminta aku untuk tidak tersinggung? Hufh...kirain mau ngomong apaa gitu. Ternyata....”
“iya, cuman itu”
“Ga ngaruh, kalee... Biasa aja, aku kan suka makan”
“Trus ga dikeluarkan?”
“Maksudmu?”
“Ya, makanan yang kamu makan kan tidak semuanya diserap tubuh. Apa kamu mau menumpuk kotoran di dalam tubuhmu?”
“Ya, nggak lah. Apa menurutmu yang aku keluarkan harus kotoran?”
“Tidak”
“Trus...”
“Yang baik kau ubah jadi tenaga, ampasnya kau buang. Yang baik kau jadikan tulisan yang menggairahkan, ampasnya jadikan motivasi”
“O..Maksudmu begini....,” Samina membunyikan suara des dari mulutnya. Oh, tidak, ia membunyikan dari knalpotnya. Iya, suara itu benar-benar halus nan lembut. Selembut angin yang mengikuti suara merdu itu. Dan tanpa disengaja, Samingan pun menghirup aroma semerbak reaksi kimia alamiah tersebut. Perlahan-lahan aroma itu mulai meracuni udara sekitar.