Kebahagiaan Yang Tertunda
Pada tanggal enam februari yang
lalu, ada jamaah yang tertunda keberangkatannya. Jumlahnya 34 jamaah. Masalahnya
adalah karena visa tidak terbit. System down. Kita tidak bisa berbuat
apa-apa kecuali waiting & see. Jamaah sudah panik. Apalagi di hari
itu ada jamaah travel lain yang berangkat. Tapi ada juga yang senasib. Bahkan
jumlahnya lebih banyak.
Kepanikan itu harus segera
diredam. Kita harus segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Akhirnya pimpinan
segera menuju Bandara, menyewakan kamar di Hotel sekitar Bandara. Dan
selanjutnya, saya ditugaskan untuk memberikan penjelasan dan mengisi hati
mereka yang sedang bimbang.
Maka di hotel tersebut, saya
mengajak jamaah untuk shalat berjamaah di mushalla. Setelah shalat saya pun
meminta untuk berkumpul.
Menghadapi Manusia itu butuh
skill khusus. Harus memahami berbagai macam karakter. Satu persatu harus
dianalisa. Need & want-nya harus ketemu dulu. Maka dalam hal ini
saya harus banyak mendengar. Mendengar keluh kesah mereka satu persatu.
Setelah satu persatu menyampaikan menyampaikan
aspirasinya, saya pun mulai bicara.
“Bapak/Ibu calon tamu Allah.
Pertama, atas nama perusahaan saya ingin menyampaikan permohonan maaf atas
tertundanya keberangkatan Bapak/Ibu. Percayalah, dibalik peristiwa ini pasti
banyak hikmah yang bisa kita petik.”
Jamaah khusyuk mendengarkan.
Saya pun melanjutkan dengan sebuah ayat dalam al-quran yaitu,
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS
Al-Baqarah 216)
Bahwa semua yang terjadi ini
adalah sesuatu yang memang harus terjadi, paling tidak untuk menguji kita. Sabarkah
kita? Ikhlaskah kita? Ridhokah kita? Dengan ketentuan yang Allah berikan kepada
kita. Mau sedih atau biasa saja, Mau stres atau enjoy, mau marah atau bersabar,
itu adalah pilihan sikap kita masing-masing. Yang perlu dicatat adalah apapun
sikap kita, tidak akan merubah kondisi.”
Jamaah masih terdiam. Menyimak
dengan seksama. Saya lihat bapak yang semula wajahnya terlihat tegang, mulai
menampakkan wajah yang bersahabat. Melihat hal ini, saya pun tidak
menyia-nyiakan. Langsung memberikan selingan joke untuk menyegarkan
suasana. Barulah saya masuk ke permasalahan inti. Yaitu mulai dengan
menjelaskan bahwa kita tidak akan lari dari tanggung jawab. Kalaupun kita mau
lari, sebenarnya dari awal kami tidak perlu hadir ke bandara. Apalagi sampai
menyiapkan akomodasi.
Dalam pertemuan itu saya
jelaskan, bahwa hotel ini kita sewa satu hari. Kemudian menawarkan untuk yang
dari daerah tetap di hotel dan jamaah asal Jabodetabek kembali ke rumah masing-masing
dan menunggu jadwal sampai terbit visa.
“Wah, kalau kita harus pulang,
malu, Ustadz. Kita sudah pamitan sama keluarga dan tetangga,” salah satu jamaah
menyela.
“Owh, begitu. Terus maunya
bagaimana?”
“Kami menginap saja di sini
sampai ada kejelasan kapan kita diberangkatkan,’’
Kalimat itu langsung saya jawab
dengan senyuman.
“Baiklah, saya anggap itu sebagai
usulan. Ada yang lain?”
Beberapa jamaah yang asal
jabodetabek menyampaikan aspirasinya. Di sela mereka menyampaikan aspirasi,
saya mengirimkan pesan kepada pimpinan tentang aspirasi jamaah yang meminta
tetap di hotel.
Setelah aspirasi terserap, saya
pun menyampaikan beberapa hikmah.
Saya faham betul, bahwa
perusahaan ini punya nilai budaya yang mungkin tidak dimiliki oleh perusahaan
lain. Tidak bussiness oriented. Tapi ingin menjadi jembatan ummat menuju
baitullah. Pergi dan pulang kembali dengan aman dan nyaman. Komitmen untuk
selalu memberikan pelayanan terbaik. Sebagai pelayan tamu Allah yang mempunyai
niat suci.
Di tengah-tengah saya berbicara, tiba-tiba
ada telpon masuk dari pimpinan. Segera saya terima. Pimpinan mengabarkan bahwa
tidak masalah dengan aspirasi jamaah tersebut. Alhamdulillah.
Setelah menutup telpon, langsung
saya sampaikan kabar baik tersebut. Semua akomodasi dan konsumsi akan
ditanggung perusahaan. Semua langsung berucap, “Alhamdulillah.”
Di hari itu juga saya langsung
membuat program kegiatan. Shalat fardhu wajib berjamaah, Shalat tahajjud,
membaca al’quran, dll.
Satu hal yang kami minta kepada Bapak/Ibu
sekalian, tolong selipkan dalam doa Bapak/Ibu untuk kebaikan, rizqi yang luas
dan manfaat untuk kami.
“Siap, Ustadz!” Suara ibu-ibu
dengan lantang. “Saya sudah tiga kali umroh, yang membimbing antum terus. Dan lancar.
Baru kali ini bukan antum, malah begini. Hehehe.”
“Wah, bukan itu masalahnya, Bu.
Berprasangka baik saja terus kepadaNya. Semuanya sudah terjadi. Mulai sekarang,
jadikan hotel ini sebagai madrasah. Tempat belajar. Sebagai Pesantren.
Bagaimana? Siap ?”
“Siap!!” semua menjawab dengan kompak.
Pertemuanpun akhirnya saya tutup.
Dan sejak itu, kegiatan di hotel itu benar-benar seperti didalam pesantren.
Pesantren orang dewasa. Hehehe. Dari 34 jamaah, mungkin hanya sepuluh orang
yang berusia di bawah 40 tahun. Dan saya pun menikmati peran. Sebagai pendamping.
Atau malah pengasuh. Hehehe….
Dan pesantren itu terlaksana
selama enam hari. Pada tanggal dua belas Februari mereka kami berangkatkan. Pulang
kembali ke tanah air tanggal duapuluh tiga.
Saya yakin, bahwa setiap kesulitan
pasti ada solusi. Inna ma’al usri, yusro.
Dan kami pun senang, karena
mereka tersenyum bahagia bisa menunaikan ibadah dengan lancar. Testimoni dalam
grup WA yang mereka sampaikan semuanya sangat puas.
Alhamdulillah. Walhamdulillah.
Tsummal hamdulillah