<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>


Madura yang Katanya Singset Oriented*

Saya teramat senang bisa membaca tulisan yang berjudul "From Sumenep to Singset Oriented" yang di kirim oleh Nop. Saya tidak tahu siapa Nop ini. Yang jelas, saya mendapatkan artikel itu dari teman saya yang tinggal di Gami' (nama sebuah daerah di Kampung Sepuluh Kota Nasr, Kairo, Mesir). Tulisan itu sangat menggelitik jemari saya untuk kemudian menulisnya dan sedikit menambahan, mengurangi, merubah dan juga sedikit mengoreksinya. Begini kira-kira hasilnya. Kalau tidak puas jangan marah, saya bukan pemuas!!! :D

Sudah diakui umum bahwa Madura lebih modern, lebih efesien, dan lebih memahami ilmu hemat, dibanding manusia modern sebelah mana pun di muka bumi ini. Setidak-tidaknya dalam soal-soal yang menyangkut tubuh kaum wanita. Bukankah legenda tentang seks wanita Madura hanya bisa ditandingi oleh sangat sedikit etnik lain? Kalau tidak percaya, boleh anda mendatangi daerah yang sering orang menyebutnya pulau garam ini.

Kaum perempuan Madura, yang dibesarkan oleh kekeringan dan kekerasan lingkungan, bukan saja pakar jejamuan yang singset-oriented, ngerti kan? Bukan saja sejak dari sono-nya memang dianugerahi katuranggan alias natural behavior yang istimewa di bidang seks. Bukan saja teknokrasi dan teknologi seksnya yang canggih, akan tetapi juga karena filosofi dan moralitas seksnya yang luhur, sehingga lahirlah etos carok (ribut a laa madura).

Lebih dari itu kebudayaan Madura telah matang untuk menyadari betapa wanita harus dihemat. Unsur-unsur wanita harus dihemat. Unsur-unsur wanita ada juga yang boleh go public, tapi ada yang hanya boleh go husband. Jangankan ada yang menyentuh, memandang saja pun sebaiknya--sikat! Clurit (senjata Khas Madura, berbentuk setengah lingkaran) ! Carok!

Apa? Anti kekerasan? Non-Violence strunggle?Apa maksud Ente?

Mengucurnya darah dari badan tidaklah begitu berarti dibanding suatu bentuk kekejaman dan kekerasan nilai yang merontokkan harkat kemanusiaan. Apakah Ente lebih mengidentifikasikan diri ke 'badan manusia' dibanding 'kemanusiaan'-nya? Bukankah kematian tubuh seorang pahlawan bisa kita relakan asalkan demi kehidupan dan kejayaan nilai kebenaran yang diyakini?

Manusia disebut manusia karena kehormatannya. Kalau ada lelaki nguthak-uthek onderdil istri, yang terhina bukan hanya kehormatan istri atau wanita itu sendiri. Tapi sudah merupakan kehormatan Sang suami yang bertugas sebagai pelindung dan pengawal istri. Kalau kehormatan sudah direnggut, nilainya sama dengan kematian. So, carok itu sekedar mekanisme yang melaksanakan pemenuhan nilai kematian.

Makanya di Pulau Madura jarang ada perkosaan. Secara tradisional berlangsung kontrol moral sosial yang sangat ketat, dan itu pasti lebih baik dibanding komune seks bebas yang dibangga-banggakan oleh peradaban modern. Beda dengan di wilayah-wilayah Jawa, misalnya. Banyak terjadi tindak pemerkosaan, bahkan kepada mereka yang masih jauh dibawah umur. Bukan hanya di kota-kota besar modern atau sering disebut metropolitan, tapi justru di kampung, wilayah kabupaten, kecamatan atau desa. Lho, apakah masyarakat metropolitan lebih bermoral sehingga angka perkosaan rendah? Tidak. Di kota-kota besar perkosaan lelaki atas wanita tak perlu banyak terjadi, karena hubungan seks bisa dilakukan tanpa paksaan.

Segala infrastruktur sosial ekonomi dan sosial budaya untuk demokrasi seks telah tersedia. 'Rekanan bisnis' tak terlalu sukar dicari, uang untuk nyewa motel ada, jenis-jenis kamar sewaan juga semakin canggih saja.

Bahkan para pemilik modernitas telah pula menyiapkan dalih-dalih nilai yang luar biasa luhurnya untuk membela kebebasan dan hak asasi manusia, termasuk hak asasi manusia untuk menjadi hewan. Untuk apa memperkosa wong suami-istri buta huruf tentang di mana istrinya siang ini berada, juga istri-istri capek menyelediki apa yang dilakukan suaminya.

Beda dengan para lelaki di daerah agraris atau sub-urban, terutama yang tidak surplus ekonominya. Mereka diguyur iming-iming konsumtifisme seks yang sama dahsyatnya dengan yang menimpa lapisan masyarakat di atasnya yang punya duit dan nilai "demokrasi bagian yang enak-enak". Tapi fasilitas yang mereka punya tidak sama. Jadi ya terpaksa yang mereka punya tidak sama. Jadi ya terpaksa menyelenggarakan perkosaan, kalau cenggur-nya ('ngaceng nganggur'-nya) kelamaan. Hehehehe, Istilah apaan ya? Pokoknya begitu deh.

Kota-kota besar, masyarakat modern, peradaban metropolitan, telah mempelopori kesamarataan, globalisasi dan distribusi. Barang-barang kaum wanita yang sebenarnya bersifat privat, malah dipamerkan di etalase toko, bahkan menjadi andalan komoditi utama sejumlah koran kuning.

Bagaimana sih sebenarnya konsep privacy manusia dan kebudayaan modern? Padahal pemuda Sumenep itu bertahan lima tahun penuh untuk tidak seserpih pun menyingkap kain atau rok si gadis idaman yang toh kelak akan menjadi bagian dari privacy-nya. Lima tahun! Lima kali 365 hari! Berapa jam itu? Berapa menit? Berapa detik? Hitunglah sendiri! Padahal jika kita memasuki atmosfer nafsu seks di depan bayangan aurat perempuan, menunggu lima menit saja pun serasa berhari-hari sengsara dalam keputus asa-an.

Tapi pemuda Sumenep ini mempertahankan dengan penuh disiplin. Ya demi moral, demi akhlak, demi tidak dosa, demi sirik, tetapi juga sangat penting adalah supaya ia tidak mengalami rasa jenuh pasar terhadap si perawan.

Ia memahami betul kapitalisme kenikmatan seks. Ia mengerti ilmu berhemat atas aurat wanita. Kalau dibuka-buka sejak sekarang, kalau diusap-usap tiap malam minggu, kalau didusel-dusel kapan saja sempat: Kadar kenikmatan akan menurun drastis. Rasa penasaran, getaran-getaran esoterik, akan melorot tak ketulungan. Wanita menjadi murah harganya. Menjadi koden dan kacangan.

Padahal kalau dihemat, setiap pori-pori tubuh sang kekasih adalah surga. Setiap sentimeter kulitnya adalah telaga yang menakjubkan. Pemuda Sumenep ini bertahan sekian lama agar percintaan dan kemesraannya tidak mengalami prematur ejakulasi. Bukanlah anak-anak muda yang pacaran dengan cara menghabiskan jatah kenikmatan suami-istri sesungguhnya. Yang sedang merancang suatu ejakulasi dini yang karbitan secara psikologis maupun biologis?

Saksikanlah, betapa dahsyatnya bulan madu malam pertama kisah From Sumenep with Love ini. Lima tahun si pemuda menahan diri. Prestasi tertingginya hanyalah memegang tangan si perawan, itupun dengan sangat gemetar dan ketakutan --betapa nikmatnya ketakutan!-- Tanyakan kepada semua pakar, bahwa dalam hal berpacaran, sepanjang menyangkut konteks biologis, ketakutan jauh lebih afdhol dibanding keberanian.

Memang jangan lantas membayangkan Madura adalah semacam "Pulau Santri" di mana segala-galanya serba steril dari maksiat. Tapi yang penting pemuda Sumenep ini jangan sekali-sekali dibayangkan pernah nonton bareng, kencan malam minggu, apalagi SH alias saba hotel.
Fantasi dan imajinasi saja. Lima tahun penuh fantasi dan imajinasi saja. Sehingga ketika malam bulan madu tiba, jebol-lah dam itu! Tetapi si Sumenep cukup dingin. ia nikmati istrinya sedikit demi sedikit dan amat perlahan-lahan. Diinstruksikannya sang istri untuk membebaskan diri dari pakaiannya. Sekali lagi, sedikit demi sedikit dan amat perlahan-lahan. Slow motion.
Kemudian sesudah 'demokrasi dan keterbukaan' sempurna, ia sutradarai sang istri untuk melakukan gerak keindahan. Seindah-indahnya.

Ibarat lakon sandiwara, ini eksposisi. Baru kemudian memulai adegan konflik. Ia pandangi tubuh istrinya dengan penuh kekhusukan. Sedikit demi sedikit dan amat perlahan-lahan. Dari ujung rambutnya, keningnya, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, lehernya, kemudian melompat-lompat sampai lengkap. Sampai akhirnya ia berhenti di 'pusat kebudayaan', yang lucu bentuknya dan misterius perangainya. Si Sumenep mungkin membayangkan hendak berburu di kedalaman hutan belantara yang ekosistemnya masih amat perawan dan terpelihara itu. Sungguh kenikmatan yang tidak akan pernah tertandingi.

Wajahnya menegang, sorot matanya menjadi aneh, dan tiba-tiba saja satu tangannya menepuk 'pusat kebudayaan' itu sambil bergumam, "Alaa! Kayak gini aja harus nunggu lima tahun!". Masih belum percaya? Boleh di coba kok. Siapa ya orang Sumenep? Jangan-jangan dia lagi GR nih baca tulisan ini.
-------------------------------------------------------------
* Enta kapan saya menulis ini, saya sudah lupa tanggalnya. Yang jelas tulisan ini sudah saya posting di blog saya multiply beberapa bulan yang lalu. hehehehehe
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

» Post a Comment