<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Sungai

Waktu pertama kali aku sampai di Mesir, keinginan pertamaku adalah menyaksikan sungai Nil yang terkenal itu dari dekat. Karena aku sangat mengaguminya. Satu sungai yang bisa menghidupi lebih dari satu negara. Benar-benar mengagumkan. Sedang di negaraku sendiri, banyak sekali. Dan tidak bisa menghidupi rakyat secara keseluruhan.

Keesokan harinya aku mengajak seorang teman untuk menyaksikan sungai Nil. Teman menyarankan, kalau mau lihat yang indah kita pergi saja ke Tahrir. Aku menurut saja karena dia lebih tahu dariku. Dari daerah yang baru aku tahu namanya. Bawwabah Talta (gerbang ke 3) Hay el-‘Asyir. Aku menunggu bis yang menuju ke Tahrir. Kulihat di jalanan. Ternyata banyak orang Mesir yang masih menggunakan mobil tua. Walaupun banyak juga yang memakai mobil keluaran terbaru. Dan yang menurut aku unik, di sini mobil pribadinya model sedan semua. Sedangkan yang model Carry adalah angkutan Umum. Dan model kijang atau Panther dibuat pick up. Sebuah keunikan. Entah bagaimana ceritanya kok bisa seragam seperti ini.

Lama juga kami menunggu bis. Mungkin ada setengah jam lebih. Aku bahkan tidak bisa membedakan bis yang melaju di sini. Karena aku lihat semuanya sama. Tidak seperti di Indonesia, bisa membedakan dengan warna mobil atau kalau bis hanya dengan melihat tulisan besar arah tujuannya saja. “Ayo pi! Cepetan!” ajak temanku tergesa-gesa ketika melihat ada bis jurusan Tahrir. Perjalanan itu sangat mengasyikkan bagiku. Karena aku memang belum pernah berjalan-jalan di sini. Aku lebih banyak bertanya sambil melihat pemandangan sekitar. Karena bagiku Mesir masih asing bagiku. Iseng aku menanyakan alamat rumah dan meminta temanku untuk mencatatnya di sebuah kertas. Aku takut terpisah nantinya. Dan aku tidak tahu harus kemana. Di saat seperti itulah mungkin catatan akan lebih berguna. Apalagi aku tidak mengerti bahasa orang sini. Mereka menggunakan bahasa ‘amiyah dalam bahasa kesehariannya. Walaupun sama-sama bahasa Arab, tapi aku hampir 75 persen tidak bisa memahaminya. Sangat berbeda sekali dengan bahasa arab yang aku pelajari semasa di Pesantren.

Akhirnya kami sampai juga di terminal Tahrir. Kamipun turun dari Bis. Kemudian kami menyusuri jalanan. Banyak sekali orang-orang berlalu-lalang. Benar-benar kota yag sibuk. Waktu menyeberang hampir saja aku diserempet mobil. Gila, benar-benar edan sopir-sopir di sini. Seperti tidak punya perasaan saja. Apa karena saking sibuknya, ya? Sampai-sampai untuk memberikan waktu orang menyeberang saja tidak mau. Ah, mungkin juga karena mereka adalah keturunan Fir’aun yang egois.

Wooooooooooowwwwww, indah sekali. Sangat menkjubkan. Ternyata ini sungai Nil itu. Benar-benar indah. Di situ aku lihat beberapa kapal yang tidak berjalan. Ada juga nelayan yang menata jaringnya. Hebat, jauh sekali dengan sungai-sungai di Indonesia. Airnya bersih, tidak terlihat sampah mengapung di atasnya. Aku jadi ingin berenang. Terjun bebas. Hahahahaha. Bila dibandingkan dengan Indonesia, sangat jauh men. Sungai Indonesia itu sudah berubah fungsinya menjadi tempat pembuangan sampah, airnya keruh dan menjadi coklat. Jijik. Kumuh.

Aku juga senang dengan penataannya. Rapi dan enak di pandang mata. Kalau aku menilai, orang Mesir sangat menghormati sungai. Entahlah, mungkin karena sungai Nil adalah satu-satunya sungai yang bisa dijadikan topangan hidup. Saya tidak melihat satu gedungpun yang membelakangi sungai. Semuanya menghadap sungai. Sangat beda seklai dengan Indonesia. Rumah-rumah yang berada di pinggir sungai seakan-akan malu bila menghadap ke sungai. Mereka membelakangi sungai. Sungai di jadikan sebagai tempat pembuangan, entah itu sampah-sampah dari hasil produksi atau sampah manusia itu sendiri. Sementara di sisi lain, masih ada orang yang memanfaatkan sungai untuk mandi dn mencuci pakaian. Lucu memang, limbah, sampah, semuanya di buang ke sungai. Tapi airnya di buat untuk pengairan, mandi, dan cuci pakaian. Benar-benar gila kalee.Ini yang membuat aku sedikit berpikir. Kenapa Indonesia tidak bisa menghormati dan menghargai sungai. Seandainya Indonesia bisa menjaga sumber kehidupan itu, saya yakin banjir tidak akan menghantui warga.

Selain itu masih ada lagi penghormatan yang diberikan kepada sungai. Di sepanjang aliran sungai ini terdapat pagar besi. Di trotoar jalan di sediakan tempat duduk. Aku cukup senang, karena bisa menikmati keindahan sungai Nil. Kalau anda punya gebetan, mungkin di sinilah tempat yang romantis. Untuk sekedar berduaan. Hahahahaha. Asyik juga tuh....
« Home | Next »
| Next »

» Post a Comment