<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Melihat Dunia dari Secangkir Teh*

Hari ini aku menemukan sebuah buku menarik, karya Cak Emha Ainun Najib. Ketika aku lihat buku itu, langsung saja aku baca sampai tuntas. Hehehehe. Bagiku, buku itu cukup menarik untuk dibaca. Apalagi buat kita yang jebolan, atau pernah njebol pesantren. Asyik juga, ini saya postingin sepotong buat kamu. Selamat membaca.

Kita bisa belajar kapan saja, dimana saja, nggak usah jauh-jauh, teh misalnya, anda minum teh, tapi gagasan anda tentang teh tidak ada perkembangan. Ya...sama saja. Sampai kapan pun anda berpendapat bahwa teh itu kecoklat-coklatan, dimasukkan gula dan dimasukkan airnya. Tidak....! Tidak hanya itu saja, harus ada perkembangan. Kalau anda mau berfikir, melaui teh anda bisa melihat dunia.


Sewaktu melihat teh, Anda terngat pertanian teh, berapa manusia yang nasibnya sama dengan petani teh, sistem pemerintah dalam menangani teh, monopoli pemerintah tentang teh, Anda teringat Tomi lalu menjualnya Mas Yanto. Dia termasuk tingkat yang mana dalam ekonomi masyarakat kita, berapa jumlahnya orang yang sama nasibnya dengan Mas Yanto, dan seterusnya. Itu saja sudah cukup. Jangan berhayal ingin menemui Ali Yafie, Nur Cholis Majid, Amien Rais dan Jamaluddin Rahmat. Boleh menemui mereka hanya sebagai jendela, sedangkan kuncinya ada pada diri anda.

Engga' usah bicara tentang dunia pemikiran. Sekali lagi ngga' usah, sebab anda diseret oleh para psikolog kota, berfikir yang ngga'-ngga'. Kalau anda menemukan santri itu relegiusitas, Do it, i'mal, i'mal, i'mal. Nanti di tengah nada "Ta'malu Syai'an", nanti dibutuhkan pemikiran. O...kita harus berpikir tentang ini, O.....saya harus bikin motor sendiri, kalau begitu saya harus mengembangkan pemikiran tentang ban, tentang busi, listrik dan sebagainya.


Jadi pemikiran itu hanya diperlukan sebagai 'thoriqoh' dari amal atau sebagai alat dari amal anda, jangan serius-serius berfikir, ngga' ada angin ngga' ada hujan kok berfikir. Kenapa?!....Yang penting, anda kerjakan apa yang jelas, di tengah pekerjaan anda, anda pasti dituntut untuk berfikir, Nah itu yang dinamakan pemikiran. Jadi jangan ngga' ada angin ngga' ada hujan ngga' ada angin ribut, tiba-tiba anda menyusun pemikiran. Apa itu? nanti anda berani ngomong ini itu, ngomong tentang arab saudi, Pakistan, Komunisme yang jatuh. Post modernisme, ngapain...?? Itu semua nanti akan anda perlukan, kalau memang ada kebutuhannya dalam 'amaliyah' Anda, gitu lho. jadi jangan dibalik.

"Milikilah pandangan "mendalam", sampai ketika Anda memandang secangkir teh, Anda mampu menembus wujud real dari teh itu"

--------------------------------------------------------

*Judul buku Emha Ainun Najib yang diterbitkan oleh Warta Mingguan Darussalam Pos

« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

Mon Nov 13, 04:04:00 AM

mas, saya belum baca buku itu. tapi secara 'kasar' saya pikir menarik juga. dulu pernah gila buku, baca itu baca ini kutip situ kutip sini. sampai sadar, kalo refleksi itu harus lahir dari diri sendiri. seremeh apapun perenungan kita. kadang2 jadi geli juga jika ingat dulu, ketika saya memaksakan diri dengan menelan mentah-mentah hasil pikir orang lain, hanya untuk menggunakan mereka sebagai tameng atas pendapat pribadi. untunglah, saya sudah agak sembuh sekarang.

eniwei, matur nuwun postingnya.    



» Post a Comment