Cerita Sahabat;Lanjutan
Ini adalah lanjutan dari cerita Sahabat yang aku posting beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku dibuat penasaran oleh Nadhief. Cerita Nadhief sangat menarik dan mengalir. Aku sangat kagum dengan satu orang ini. Manusia yang serba bisa. Apa coba yang tidak dia bisa, menggambar mantap, sastra yahut, elektro jozz, mo diajak ke ilmiah juga top abizz. Makanya jangan heran kalo lelaki yang satu ini sering nangkring di Cool Radio station (salah satu cyber radio yang dikelola oleh orang Indonesia di Kairo) untuk mengisi ceramah, bincang sastra atau membicarakan tips merawat komputer yang baik. Bahkan Ibu-ibu KBRI sering mengundangnya dalam acara pengajian atau arisan untuk memberikan siraman rohani. Cuman sayangnya, ada satu kekurangan yang dimiliki oleh lelaki ini. Lelaki kelahiran Rembang ini ternyata jarang mandi. Alasan pastinya sih aku tidak tahu. Soal penampilan jangan ditanya, walaupun jarang mandi, dia tetap menjaga penampilan. Rambutnya yang gimbal itu telah menjadi trade marknya sendiri (maksudnya). Ya, pokoknya lelaki ini memang perfect abis. Soal ibadah, yang jelas tidak seperti aku yang malas untuk sekedar sholat jamaah ke masjid.
Setelah mendengar cerita Nadhief kemarin, aku jadi bener-bener penasaran. Sepertinya aku memang harus segera menghubunginya. Siapa tahu nanti akan berguna sebagai bahan tulisanku. Dan tanpa pikir panjang lagi aku mendekati pesawat telpon, kuangkat gagangnya dan mulai memencet angka-angka.
"Hallo," suara di seberang.
"Ya, Assalamualaikum," aku mengucap salam.
"Waalaikum salam, mau bicara dengan siapa, ya?"
"Mmm, Nadhief-nya ada Mas?," aku menjawab dengan pertanyaan.
"O, ya. Ada, sebentar ya."
Aku mendengar gagang ditaruh. Aku juga mendengar lelaki yang menerima telpon tadi berteriak memanggil-manggil Nadhief. Lalu aku mendengar suara gagang diangkat.
"Hallo, Assalamualaikum,"
Aku kenal suara ini. Ya, ini adalah suara Nadhief.
"Ini aku, Dhief, Naphie. Kamu ada waktu ga? Aku pengen denger lanjutan ceritamu kemarin."
"O, itu. Kenapa emangnya? Kalau mau, ke sini aja. Bantuin aku ngepakin buku,"
"O ya, Ok deh. Aku ke sana sekarang ya. Assalamualaikum,"
Tanpa mendengar dia menjawab salamku, aku langsung menutup telpon. Dan aku segera bergegas menuju rumahnya. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh. Hanya memakan 15 menit saja dengan berjalan kaki.
Sampai di depan gerbang rumahny aku memencet tombol yang di sampingnya bertuliskan Indonesia. Dan terdengar seseorang bertanya “siapa?” langsung saja aku jawab “Naphie.” Dan tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka. Sepertinya dikontrol dari dalam.
Setelah masuk ke dalam, kulihat Nadhief sudah siap menyambutku.
“Ahlan..ahlan...Ayo masuk, Phie” Nadhief mempersilahkanku masuk.
“Lagi ngapain? Kok kayaknya sibuk banget,” aku bertutur basa-basi.
“Ah, enggak. Cuma lagi ngepakin buku aja”
Aku diajak ke dalam kamarnya. Kulihat banyak buku berserakan di kamar itu.
“Mau di kemanain nih, Dhief?”
“Mau dikirim ke Indonesia,”
Sebenarnya tanpa dijawab aku sudah tahu. Karena di situ ada satu karton yang sudah selesai dikepak. Di sana tertulis untuk seseorang dengan alamat Indonesia. Mungkin nama bapaknya. Nadhief adalah salah seorang diantara ribuan orang yang suka berburu buku di pameran buku yang digelar setiap tahun di Kairo ini. Tidak, bukan ribuan. Tapi puluhan ribu. Ketika pameran ini digelar, semua manusia yang senang buku, entah dari negara-negara Eropa, Amerika, Australia, Asia dan juga termasuk dari Indonesia tumpah ruah memburu buku yang sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Ya, mereka datang ke sini hanya untuk belanja buku. Sedang aku hanya dibuat ngiler.
Setelah kami selesai mengepak buku-buku, Nadhief menyuguhkan teh untukku. Dari rasanya, aku tahu teh ini, el-Arousa. Kemudiaan dia duduk di atas ranjang di sampingku sambil menyulut Viceroynya.
“O ya, memangnya ada apa, kok kamu pengen tahu tentang keluargaku?”
“Aku pengen nulis, kali aja ceritamu bisa jadi bahan”
“Lho, emang mau nulis tentang apa?”
“Tentang pengaruh hubungan anak dengan orang tua terhadap perkembangan anak”
“O begitu, Sebentar ya,” Nadhief mengambil Hp-nya yang sedang berbunyi. Kemudian berbicara, entah dengan siapa. Dan setelah selesai kemudian duduk kembali.
“Baiklah, kalau kemarin tentang ibukku, sekarang tentang bapakku. Kalau berbicara tentang bapak, aku jadi teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu. Bapak bagiku sangat istimewa.”
“O, ya. Kejadian apa?” aku mengejar, ingin tahu.
“Begini ceritanya: Sewaktu sampai di Kairo pertama kali aku ditanya sama bapak, ‘kamu ngambil jurusan apa, Dhief, di sana?’ Langsung aku jawab kalau aku masuk fakultas Ushuluddin. Nah, bapakku ini kan wong ndeso, pengetahuannya biasa-biasa saja. Aku tidak tahu, informasi apa yang didapatkan bapak, hingga beberapa waktu yang lalu bapak nelpon. Bapak meminta aku untuk pindah jurusan, ‘Benar kamu di Ushuluddin? Kamu masih shalat, kan? Bapak minta kamu pindah saja ke Akidah,’ Tanpa ingin membohongi, aku langsung menjawab, ‘iya’. Nah, kamu kan tahu sendiri di Ushuluddin ada jurusan akidah filsafat. Jadi aku tidak bohong. Tehnya, Phie. Ayolah diminum dulu,”
“Ya, terima kasih,”
“Nah, cuman beberapa hari setelah itu bapak marah-marah. Dia nelpon lagi, ‘Kurang ajar, kamu berani bohongi bapakmu, ya? Ya, sudahlah. Pokoknya kamu harus bisa menjaga shalatmu’ sepertinya ia tahu kalau akidah yang aku jawab kemarin adalah sebuah jurusan di fakultas Ushuluddin, muangkin ia menanya ke temanku yang baru pulang kemarin, dan aku merasa ngga enak. Dan setelah itu, uang bulananku tersendat. Baru setelah aku minta maaf, bisa lancar lagi,” Lagi-lagi Nadhief harus megangkat Hp-nya. Ada panggilan. Kali ini aku tahu persis pembicaraannya. Setelah mengakhiri pembicaraan di Hp, ia mengajakku.
“Phie, Ke sekretariat yuk. Temen-temen baru sudah datang. Dan katanya aku dapat kiriman dari bapak,”
“O ya, masa sih? Ya, udah yuk, kita berangkat sekarang”
Dan kami pun segera bergegas menuju sekretariat.
***
Di sekretariat sudah banyak teman-teman. Bau harum tembakau Indonesia dengan cengkehnya yang khas semerbak meraba hidung. Dan Nadhief mencari orang yang membawa kirimannya.
“Mas Nadhief, gimana kabarnya? Sampeyan ada kiriman dari bapak’e sampeyan,” sapa seseorang yang nampaknya sudah akrab.
Nadhief membalikkan badan, dan kangen-kangenan pun dimulai.
“MasyaAllah, sampeyan toh, Mas. Duh kangen aku. Gimana kabar Rembang, Mas?”
“Ya, tetap seperti dulu, Mas. O ya, sampeyan ada titipan,”
Dan yang laen langsung meledek si Nadhief. “Wah, dolarnya cair nih,” “Segera slametan,” begitu bercandanya teman-teman sealmamater kami.
Dan lelaki yang membawa titipannya Nadhief datang dengan membawa sebuah bungkusan berkulit kertas koran. Kalau dilihat dari bentuknya, sepertinya isinya adalah buku. Tipis. Dan lelaki itu memberikannya kepada Nadhief.
“Ini, Mas, titipannya”
“Cuma ini thok?” Nadhief bertanya heran.
“iya”
Di situ tertulis ‘untuk Nadhief dari Bapak’. Dan teman-teman yang ada di sana langsung meminta Nadhief untuk segera membuka bungkusan itu. Aku juga. Dan dengan sangat terpaksa, akhirnya Nadhief membuka bungkusan itu. Setelah bungkusan itu dibuka, meledaklah tawa teman-teman. Semuanya tertawa riuh, seperti mengejek. Sedang aku, yang baru saja diceritai oleh Nadhief, merasa terharu. Isi bungkusan itu adalah ‘Tuntunan Shalat’ dengan embel-embel ‘lengkap’ di akhir kalimatnya.
Sekarang aku tahu, mengapa Nadhief menganggap bapaknya istimewa.
------------------------
“Mendidik bukan hanya dengan nasihat saja. Sebab yang menjadi sukses adalah memberikan contoh dengan perbuatan”“Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui”
Setelah mendengar cerita Nadhief kemarin, aku jadi bener-bener penasaran. Sepertinya aku memang harus segera menghubunginya. Siapa tahu nanti akan berguna sebagai bahan tulisanku. Dan tanpa pikir panjang lagi aku mendekati pesawat telpon, kuangkat gagangnya dan mulai memencet angka-angka.
"Hallo," suara di seberang.
"Ya, Assalamualaikum," aku mengucap salam.
"Waalaikum salam, mau bicara dengan siapa, ya?"
"Mmm, Nadhief-nya ada Mas?," aku menjawab dengan pertanyaan.
"O, ya. Ada, sebentar ya."
Aku mendengar gagang ditaruh. Aku juga mendengar lelaki yang menerima telpon tadi berteriak memanggil-manggil Nadhief. Lalu aku mendengar suara gagang diangkat.
"Hallo, Assalamualaikum,"
Aku kenal suara ini. Ya, ini adalah suara Nadhief.
"Ini aku, Dhief, Naphie. Kamu ada waktu ga? Aku pengen denger lanjutan ceritamu kemarin."
"O, itu. Kenapa emangnya? Kalau mau, ke sini aja. Bantuin aku ngepakin buku,"
"O ya, Ok deh. Aku ke sana sekarang ya. Assalamualaikum,"
Tanpa mendengar dia menjawab salamku, aku langsung menutup telpon. Dan aku segera bergegas menuju rumahnya. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh. Hanya memakan 15 menit saja dengan berjalan kaki.
Sampai di depan gerbang rumahny aku memencet tombol yang di sampingnya bertuliskan Indonesia. Dan terdengar seseorang bertanya “siapa?” langsung saja aku jawab “Naphie.” Dan tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka. Sepertinya dikontrol dari dalam.
Setelah masuk ke dalam, kulihat Nadhief sudah siap menyambutku.
“Ahlan..ahlan...Ayo masuk, Phie” Nadhief mempersilahkanku masuk.
“Lagi ngapain? Kok kayaknya sibuk banget,” aku bertutur basa-basi.
“Ah, enggak. Cuma lagi ngepakin buku aja”
Aku diajak ke dalam kamarnya. Kulihat banyak buku berserakan di kamar itu.
“Mau di kemanain nih, Dhief?”
“Mau dikirim ke Indonesia,”
Sebenarnya tanpa dijawab aku sudah tahu. Karena di situ ada satu karton yang sudah selesai dikepak. Di sana tertulis untuk seseorang dengan alamat Indonesia. Mungkin nama bapaknya. Nadhief adalah salah seorang diantara ribuan orang yang suka berburu buku di pameran buku yang digelar setiap tahun di Kairo ini. Tidak, bukan ribuan. Tapi puluhan ribu. Ketika pameran ini digelar, semua manusia yang senang buku, entah dari negara-negara Eropa, Amerika, Australia, Asia dan juga termasuk dari Indonesia tumpah ruah memburu buku yang sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Ya, mereka datang ke sini hanya untuk belanja buku. Sedang aku hanya dibuat ngiler.
Setelah kami selesai mengepak buku-buku, Nadhief menyuguhkan teh untukku. Dari rasanya, aku tahu teh ini, el-Arousa. Kemudiaan dia duduk di atas ranjang di sampingku sambil menyulut Viceroynya.
“O ya, memangnya ada apa, kok kamu pengen tahu tentang keluargaku?”
“Aku pengen nulis, kali aja ceritamu bisa jadi bahan”
“Lho, emang mau nulis tentang apa?”
“Tentang pengaruh hubungan anak dengan orang tua terhadap perkembangan anak”
“O begitu, Sebentar ya,” Nadhief mengambil Hp-nya yang sedang berbunyi. Kemudian berbicara, entah dengan siapa. Dan setelah selesai kemudian duduk kembali.
“Baiklah, kalau kemarin tentang ibukku, sekarang tentang bapakku. Kalau berbicara tentang bapak, aku jadi teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu. Bapak bagiku sangat istimewa.”
“O, ya. Kejadian apa?” aku mengejar, ingin tahu.
“Begini ceritanya: Sewaktu sampai di Kairo pertama kali aku ditanya sama bapak, ‘kamu ngambil jurusan apa, Dhief, di sana?’ Langsung aku jawab kalau aku masuk fakultas Ushuluddin. Nah, bapakku ini kan wong ndeso, pengetahuannya biasa-biasa saja. Aku tidak tahu, informasi apa yang didapatkan bapak, hingga beberapa waktu yang lalu bapak nelpon. Bapak meminta aku untuk pindah jurusan, ‘Benar kamu di Ushuluddin? Kamu masih shalat, kan? Bapak minta kamu pindah saja ke Akidah,’ Tanpa ingin membohongi, aku langsung menjawab, ‘iya’. Nah, kamu kan tahu sendiri di Ushuluddin ada jurusan akidah filsafat. Jadi aku tidak bohong. Tehnya, Phie. Ayolah diminum dulu,”
“Ya, terima kasih,”
“Nah, cuman beberapa hari setelah itu bapak marah-marah. Dia nelpon lagi, ‘Kurang ajar, kamu berani bohongi bapakmu, ya? Ya, sudahlah. Pokoknya kamu harus bisa menjaga shalatmu’ sepertinya ia tahu kalau akidah yang aku jawab kemarin adalah sebuah jurusan di fakultas Ushuluddin, muangkin ia menanya ke temanku yang baru pulang kemarin, dan aku merasa ngga enak. Dan setelah itu, uang bulananku tersendat. Baru setelah aku minta maaf, bisa lancar lagi,” Lagi-lagi Nadhief harus megangkat Hp-nya. Ada panggilan. Kali ini aku tahu persis pembicaraannya. Setelah mengakhiri pembicaraan di Hp, ia mengajakku.
“Phie, Ke sekretariat yuk. Temen-temen baru sudah datang. Dan katanya aku dapat kiriman dari bapak,”
“O ya, masa sih? Ya, udah yuk, kita berangkat sekarang”
Dan kami pun segera bergegas menuju sekretariat.
***
Di sekretariat sudah banyak teman-teman. Bau harum tembakau Indonesia dengan cengkehnya yang khas semerbak meraba hidung. Dan Nadhief mencari orang yang membawa kirimannya.
“Mas Nadhief, gimana kabarnya? Sampeyan ada kiriman dari bapak’e sampeyan,” sapa seseorang yang nampaknya sudah akrab.
Nadhief membalikkan badan, dan kangen-kangenan pun dimulai.
“MasyaAllah, sampeyan toh, Mas. Duh kangen aku. Gimana kabar Rembang, Mas?”
“Ya, tetap seperti dulu, Mas. O ya, sampeyan ada titipan,”
Dan yang laen langsung meledek si Nadhief. “Wah, dolarnya cair nih,” “Segera slametan,” begitu bercandanya teman-teman sealmamater kami.
Dan lelaki yang membawa titipannya Nadhief datang dengan membawa sebuah bungkusan berkulit kertas koran. Kalau dilihat dari bentuknya, sepertinya isinya adalah buku. Tipis. Dan lelaki itu memberikannya kepada Nadhief.
“Ini, Mas, titipannya”
“Cuma ini thok?” Nadhief bertanya heran.
“iya”
Di situ tertulis ‘untuk Nadhief dari Bapak’. Dan teman-teman yang ada di sana langsung meminta Nadhief untuk segera membuka bungkusan itu. Aku juga. Dan dengan sangat terpaksa, akhirnya Nadhief membuka bungkusan itu. Setelah bungkusan itu dibuka, meledaklah tawa teman-teman. Semuanya tertawa riuh, seperti mengejek. Sedang aku, yang baru saja diceritai oleh Nadhief, merasa terharu. Isi bungkusan itu adalah ‘Tuntunan Shalat’ dengan embel-embel ‘lengkap’ di akhir kalimatnya.
Sekarang aku tahu, mengapa Nadhief menganggap bapaknya istimewa.
------------------------
“Mendidik bukan hanya dengan nasihat saja. Sebab yang menjadi sukses adalah memberikan contoh dengan perbuatan”“Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui”
fi. aku tunggu cerita tentang bapakmu. aku yakin pada setiap lelaki. bapaknyalah yang teristimewa. aku sendiri sudah mencatat, tapi setiap bagian catatan kuakhiri, setiap itu aku merasa kerdil, begitu kecil.
aku tunggu.
Tue Apr 10, 08:36:00 AM
sepertinya kamu begitu mengaguminya. ah, sepertinya sayapun mulai merasakan hal yang sama. bapakbapak lelakilelaki muda.
dan untuk han,
ah, tak selalu seperti itu. karena diapun istimewa buatku. ketika kata terkata, jalan itu yang lurus saja nduk, tak perlu berbelok kalo tak jalan membuatnya belok. kata bijak yah? terutama untuk anaknya yang badung dan suka meloncat2 kesetanan, hehe.
salam eknal, phie.
» Post a Comment