Pena
Pena, sebuah benda yang sangat mungil. Kadang digantung di saku baju, di kantong celana, disematkan dalam lampiran buku, diselipkan diantara kertas, ditempatkan dalam tas, dipajang di meja kantor, atau berada di etalase toko. Pena adalah sebuah karya yang agung. Oleh karena itu, sepatutnya manusia berterima kasih atas karya yang sangat istimewa ini.
Saya jadi teringat dengan mitos yang sering diperdengarkan di tanah kelahiran saya. Bahwa seorang sunan Giri (salah satu dari walisongo atau sembilan wali) beperang melawan beberapa tentara majapahit hanya dengan melemparkan pena. Kemudian berputar-putarlah pena itu dan berubah menjadi keris. Dan larilah tentara majapahit itu terbirit-birit. Ada lagi kisah yang lebih menarik, bahwa bung Karno meraih pena di kantong baju M. Jusuf, yang duduk di sebelah kanannya. "Ya, ini saya tanda tangani untuk diserahkan pada Harto. Tapi kalau keadaan sudah aman, mandat kembalikan pada saya,". Ya, kisah ini adalah kisah Supersemar yang penuh misteri itu. Menurut cerita, bung karno saat itu sangat terpaksa menandatangani Supersemar. Karena ia ditodong dengan pistol FN-46 oleh Maraden pangabean yang didamingi oleh tiga jendral, yaitu M. Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Machmud. Namun, kisah ini dibantah oleh M. Yusuf dan Pangabean sendiri.
Nah, setelah itu kita kembali kepada alam kita. Habit kita. Bahwa dalam setiap gerak-gerik kita sebagai mahasiswa, kita selalu mengantongi pena. entah itu hanya buat corat-coret, atau menjawab setiap pertanyaan dalam ujian, atau menanda tangani berkas, atau menulis surat buat pacar, atau juga yang lainnya. Entah sadar atau tidak, pena merupakan sebuah kebutuhan primer yang kadang-kadang terlupakan dalam agenda belanja kita.
Pernah seorang teman yang mengadu kepada saya tentang hilangnya pena yang ia miliki. Padahal ia membeli satu box yang berisi duapuluh batang pena. Dan semuanya raib entah ke mana. Ada juga yang bercerita tentang kebahagiaannya yang bisa menikmati detik-detik penghabisan tinta penanya. Karena sepanjang ia memiliki pena, tak ada satu pun pena yang ia bisa nikmati detik-detik terakhir habisnya tinta pena-nya. Dan yang menciptakan pena ini adalah orang yang paling banyak pahalanya.
Saya jadi teringat dengan mitos yang sering diperdengarkan di tanah kelahiran saya. Bahwa seorang sunan Giri (salah satu dari walisongo atau sembilan wali) beperang melawan beberapa tentara majapahit hanya dengan melemparkan pena. Kemudian berputar-putarlah pena itu dan berubah menjadi keris. Dan larilah tentara majapahit itu terbirit-birit. Ada lagi kisah yang lebih menarik, bahwa bung Karno meraih pena di kantong baju M. Jusuf, yang duduk di sebelah kanannya. "Ya, ini saya tanda tangani untuk diserahkan pada Harto. Tapi kalau keadaan sudah aman, mandat kembalikan pada saya,". Ya, kisah ini adalah kisah Supersemar yang penuh misteri itu. Menurut cerita, bung karno saat itu sangat terpaksa menandatangani Supersemar. Karena ia ditodong dengan pistol FN-46 oleh Maraden pangabean yang didamingi oleh tiga jendral, yaitu M. Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Machmud. Namun, kisah ini dibantah oleh M. Yusuf dan Pangabean sendiri.
Nah, setelah itu kita kembali kepada alam kita. Habit kita. Bahwa dalam setiap gerak-gerik kita sebagai mahasiswa, kita selalu mengantongi pena. entah itu hanya buat corat-coret, atau menjawab setiap pertanyaan dalam ujian, atau menanda tangani berkas, atau menulis surat buat pacar, atau juga yang lainnya. Entah sadar atau tidak, pena merupakan sebuah kebutuhan primer yang kadang-kadang terlupakan dalam agenda belanja kita.
Pernah seorang teman yang mengadu kepada saya tentang hilangnya pena yang ia miliki. Padahal ia membeli satu box yang berisi duapuluh batang pena. Dan semuanya raib entah ke mana. Ada juga yang bercerita tentang kebahagiaannya yang bisa menikmati detik-detik penghabisan tinta penanya. Karena sepanjang ia memiliki pena, tak ada satu pun pena yang ia bisa nikmati detik-detik terakhir habisnya tinta pena-nya. Dan yang menciptakan pena ini adalah orang yang paling banyak pahalanya.