Telpon Genggam
-----Inilah dunia perubahan. Dunia komunikasi tanpa kabel yang sangat berpengaruh terhadap perilaku orang-orang sekitar. Ya, inilah dunia telpon genggam.------
Semakin hari semakin berkembang saja dunia ini. Ya, di jaman sekarang ini, siapa yang tidak mengenal telpon genggam. Rasanya tidak ada yang tidak mengenal produk luar biasa ini. Produk yang bisa membuat orang yang satu dengan yang lainnya berkomunikasi walaupun tidak di dalam satu tempat, wilayah, negara, atau benua dengan tanpa menggunakan kabel. Bahkan pemulung, tukang becak, pengemis, telah mengenal benda berteknologi tinggi ini, apalagi yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi dari mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah pemulung, tukang becak, dan pengemis itu ternyata tidak hanya mengenal, tapi mereka memiliki dan bisa mengoperasikan perangkat komunikasi tersebut.
Di pasaran, permintaan telpon genggam sangatlah tinggi. Makanya, banyak sekali produsen-produsen mulai melirik produk yang satu ini. Fitur-fitur yang disediakan sangat beragam dan menarik. Harganya pun sangat beragam: ada yang murah, tengah-tengah, mahal, dan sangat mahal. Tapi itu kan tidak penting, ukuran mahal dan tidak mahal kan tergantung pada siapa subyeknya.
Dalam perkembangannya, ternyata ada dampak yang tidak pernah kita sadari. Perlahan tapi pasti, dampak itu mulai kita rasakan. Seperti yang dirasakan oleh seorang Saminah terhadap Samingan.
“Mas...!” Saminah memanggil mesra ke arah Samingan.
Bersamaan dengan itu, ringtone Jadikan aku yang kedua-nya Astrid berdering nyaring.
“Sebentar ya, sayang. Mas angkat telepon dulu, ya,” Samingan izin.
“I.., ” belum lengkap kalimat Saminah, Samingan sudah mulai asyik bercakap-cakap dengan lawan bicaranya menggunakan telpon genggamnya. “Iy...yaa,” Saminah melanjutkan ucapannya yang belum lengkap dengan suara yang hampir tak terdengar sambil memegangi bibirnya. Kemudian Saminah mengalihkan perhatiannya kepada buku yang ada di tangannya sambil sesekali mendengarkan suara keras Samingan yang sedang berbincang dengan telpon genggamnya.
“Iya, tapi kan tidak mesti hari ini. Masih ada besok, kan?”
Nadanya agak keras, lalu ia melanjutkan, “O..begitu, ya sudah. Nanti aku hubungi lagi”
Samingan menyudahi percakapan.
“Dari siapa mas?”
“Itu, dari kantor”
“Hmmm...Mas, adek ingin bicara sama Mas,” dengan lembut Saminah mendekati Mingan.
“Ada apa, Dek? Bicara saja.“
“Sebenarnya begini, Mas. Minah ... ”
Belum sempurna Saminah menyelesaikan kalimatnya, telpon genggam Samingan berbunyi kembali. Kali ini, Samingan langsung menerima panggilan telpon dan tidak menghiraukan untuk izin kepada Saminah. Samingan kembali larut dalam perbincangan melalui sinyal dan gelombang. Setelah selesai Samingan kembali menghadapkan wajahnya kepada Saminah. Sebenarnya, Saminah merasa agak kesal dengan tingkah laku Samingan. Tapi rasa itu ia simpan saja di hati dan tidak ia tampakkan kepada Samingan.
“iya, begini lho, Mas...”
Telpon genggam berbunyi lagi. Samingan langsung menerima. Saminah kesal. Setelah selesai, dengan cepat Saminah mengajukan pertanyaan.
“Mas, mana yang menurut Mas lebih penting, orang yang di depan Mas, atau yang di seberang?”
Samingan belum sempat menjawab, telpon genggamnya berdering lagi. Samingan menerima lagi. Saminah bertambah kesal dan meninggalkan Samingan sendirian. Setelah selesai bercakap-cakap, Samingan baru menyadari kalau Saminah telah pergi. Ia bingung bukan main. Ah, manusia memang seperti itu, masih ada disia-siakan, sudah tiada, dicari-cari; merasa kehilangan. Fyuh....
Telpon genggam Samingan berdering kembali. Kali ini ia hanya melihatnya dengan tatapan kosong. Ia melihat sebuah nama dalam telpon genggamnya yang seolah mengejek, “Kacian deh lo,” sebuah nama yang ia tulis untuk temennya yang beberapa waktu lalu ditolak cewek. Kali ini kalimat itu seperti mengejek dirinya. Ia hanya melihat layar telpon genggamnya berkedip-kedip, bergetar, dan alunan ringtone jadikan aku yang kedua-nya astrid mulai memenuhi telinganya.
Jadikan aku yang kedua
Buatlah diriku bahagia
Walauku pun tak kan pernah
Milikimu selamanya