Orang Pasar
Kalau kau punya waktu senggang, sekali-kali pergilah ke pasar. Di sana, kau akan menyaksikan betapa sederhananya hidup ini. Di pasar, hidup adalah jual-beli, tawar-menawar, dan tentu saja transaksi utang-piutang. Ya, sederhana. Sangat sederhana.
Berdiri di tengah hiruk-pikuknya pasar membuat saya sadar, bahwa kenyataannya; arus perubahan itu sangatlah cepat. Ya, sangat cepat. Secepat naik turunnya harga. Dan tentu saja arus perubahan itu sangat berpengaruh pada kehidupan bersosial dan cara saya bermasyarakat. Misalnya saja ketika saya melihat ada orang bermain curang dalam menakar timbangannya, atau melihat orang-orang tua yang bermain kata dengan dagangannya. Alih-alih mau bertransaksi, yang terjadi malah berprasangka buruk; ngrasani. Dan kalau sudah begitu, maka dengan kecepatan cahaya, informasi-informasi itu akan menyebar ke seluruh penjuru. Maka Pasar akan ramai. Orang-orang saling ngrasani. Si ini curang dalam timbangannya, si itu tidak sesuai antara omongannya sama barang dagangannya (misalnya: dagangannya banyak yang masam, dibilang manis semua). Semua itu tentu saja tidak akan hanya berhenti di Pasar. Orang-orang pasar akan segera menyebarkan informasi itu ke tetangga-tetangganya, sanak saudaranya, dan semua orang yang ia temui. Lalu akan ada rekomendasi “lebih baik beli di bapak ini atau ibu itu. Dia pedagang yang jujur...bla..bla..bla,” dan seterusnya. Maka dengan sendirinya, saya dan orang-orang yang tahu akan segera mengucilkan, atau bahasa kasarnya akan memboikot barang dagangan si orang yang digunjing tadi. Lalu kami beramai-ramai pindah kepada saingan-saingan si tergunjing. Atau akan mengikuti rekomendasi-rekomendasi orang-orang terdekat.
Itulah hukum sosial orang-orang pasar. Mau tidak mau, orang yang berlaku tidak adil akan diperlakukan tidak adil pula. Tidak seperti hukum kita; hukum Indonesia, kalau kepada orang kecil hukum berdiri setegak-tegaknya, tapi kalau kepada orang yang berkedudukan, prosesnya njlimet seperti benang kusut. Perlu ada panitia dulu. Ujung-ujungnya nggak terurus juga. Jadi seperti di hutan saja.
Jadi, di sini, di bumi Indonesia ini, hukum yang berlaku adalah hukum “Rimba”. Siapa yang kuat, ialah yang menang; siapa yang punya “duit”, walaupun dia salah, bisa jadi benar. Hahaha.
Yah, kalau saya sih bukan siapa-siapa. Jadi, walaupun seperti ini keadaannya, saya harus tetap memaksa diri saya untuk tetap merasa bangga telah menjadi bagian dari republik ini. Mau tidak mau, saya ini tetap orang Indonesia. Ya, saya masih orang Indonesia yang berada di banyak barisan, dan termasuk barisan “pasar”-nya itu.
Berdiri di tengah hiruk-pikuknya pasar membuat saya sadar, bahwa kenyataannya; arus perubahan itu sangatlah cepat. Ya, sangat cepat. Secepat naik turunnya harga. Dan tentu saja arus perubahan itu sangat berpengaruh pada kehidupan bersosial dan cara saya bermasyarakat. Misalnya saja ketika saya melihat ada orang bermain curang dalam menakar timbangannya, atau melihat orang-orang tua yang bermain kata dengan dagangannya. Alih-alih mau bertransaksi, yang terjadi malah berprasangka buruk; ngrasani. Dan kalau sudah begitu, maka dengan kecepatan cahaya, informasi-informasi itu akan menyebar ke seluruh penjuru. Maka Pasar akan ramai. Orang-orang saling ngrasani. Si ini curang dalam timbangannya, si itu tidak sesuai antara omongannya sama barang dagangannya (misalnya: dagangannya banyak yang masam, dibilang manis semua). Semua itu tentu saja tidak akan hanya berhenti di Pasar. Orang-orang pasar akan segera menyebarkan informasi itu ke tetangga-tetangganya, sanak saudaranya, dan semua orang yang ia temui. Lalu akan ada rekomendasi “lebih baik beli di bapak ini atau ibu itu. Dia pedagang yang jujur...bla..bla..bla,” dan seterusnya. Maka dengan sendirinya, saya dan orang-orang yang tahu akan segera mengucilkan, atau bahasa kasarnya akan memboikot barang dagangan si orang yang digunjing tadi. Lalu kami beramai-ramai pindah kepada saingan-saingan si tergunjing. Atau akan mengikuti rekomendasi-rekomendasi orang-orang terdekat.
Itulah hukum sosial orang-orang pasar. Mau tidak mau, orang yang berlaku tidak adil akan diperlakukan tidak adil pula. Tidak seperti hukum kita; hukum Indonesia, kalau kepada orang kecil hukum berdiri setegak-tegaknya, tapi kalau kepada orang yang berkedudukan, prosesnya njlimet seperti benang kusut. Perlu ada panitia dulu. Ujung-ujungnya nggak terurus juga. Jadi seperti di hutan saja.
Jadi, di sini, di bumi Indonesia ini, hukum yang berlaku adalah hukum “Rimba”. Siapa yang kuat, ialah yang menang; siapa yang punya “duit”, walaupun dia salah, bisa jadi benar. Hahaha.
Yah, kalau saya sih bukan siapa-siapa. Jadi, walaupun seperti ini keadaannya, saya harus tetap memaksa diri saya untuk tetap merasa bangga telah menjadi bagian dari republik ini. Mau tidak mau, saya ini tetap orang Indonesia. Ya, saya masih orang Indonesia yang berada di banyak barisan, dan termasuk barisan “pasar”-nya itu.