Di Mazbak
Pagi hari. Ditemani oleh sebatang rokok samsoe dan secangkir kopi hangat. Aku duduk di balkonah sambil memandang ke arah gurun luas. Kemudian aku sedikit merenung. Memikirkan dunia-dunia lain selain bumi. Memikirkan dunia-dunia lain selain kekanak-kanakanku.
Benar. Semakin bertambah umurku, semakin bertambah juga keinginanku untuk kembali ke masa-masa yang telah lewat. Masa-masa yang seharusnya hanya menjadi kenangan. Lalu seorang teman menegur.
"Sudahlah, masa-masa yang telah lewat itu tidak akan ada gunanya kau kenang. Hadapi yang ada di hadapanmu sekarang"
Aku tidak menghiraukannya. Otakku masih terus berputar. Seperti kepingan cd yang berputar kencang di dalam cd room. Membaca masa-masa yang menyenangkan, mengesankan, menyedihkan, dan juga membosankan. Kemudian aku tersenyum-senyum sendiri.
"kamu sudah gila, ya? Ga ada angin, ga ada hujan senyam-senyum sendiri"
Lalu aku melihat ke arah temanku itu. Menatapnya tajam. Sambil tetap menyunggingkan senyuman yang masih belum kuubah. Temanku langsung menggerak-gerakkan tangannya di depan mukaku. Mungkin ia mengira aku sedang kesurupan. Melihat reaksinya yang demikian, kuubah raut mukaku menjadi seorang yang sinis. Tak ada senyum lagi.
"Kamu kenapa?" Ia melihat ke arahku dengan serius. Heran. Tidak biasanya.
Kemudian aku merasa bahwa waktunya sudah tepat. Waktu untuk menyampaikan apa-apa yang sedang bergejolak dari kolaborasi antara hati dan otakku.
"Begini kawan. Kalau kau mengira aku sudah gila, aku memang gila. Kalau kau mengira aku sudah edan, aku memang edan. Kalau kau mengira aku sudah tidak waras, aku memang tidak waras."
Mendengar ucapanku, ia tersenyum. Kemudian tertawa cekikikan. Namun, sebelum ia menyelesaikan tertawanya itu, aku melanjutkan ucapanku.
"Tapi lihatlah kopi ini," Lanjutku. Ia terpaksa mengakhiri tertawanya. Dan kembali memperhatikan aku.
"Kopi yang aku buat ini. Kopi yang telah aku campur dengan gula, lalu kusiram dengan air yang telah aku didihkan ini. Sebelumnya aku mau bertanya? Kau menyebut ini apa?"
"Apa, ya? Ya, Kopi."
"Hmm. Kalau begitu kau sama denganku. Tapi kalau kopi ini aku campur lagi dengan susu?"
"Ya, kopi susu"
"Ya, kopi susu. Aku rasa kau sudah bisa menangkap. Tapi itu tidak penting. Aku hanya ingin mengajakmu mengembara sejenak. Ke negeri kita. Negeri dimana tidak ada penghargaan sama sekali kepada orang yang banyak bermanfaat bagi masyarakat luas. Negeri dimana tidak ada penghargaan yang layak kepada orang-orang yang telah banyak bejasa bagi negeri itu sendiri. Negeri kita, Indonesia. Aku melihatnya seperti kopi ini. Semakin banyak manfaat yang telah diberikan, semakin tidak dihargai. Namun, ketidak hadirannya akan selalu diperbincangkan banyak orang."
"Maksudmu?"
"Kau tahu komposisi yang berada di dalam cangkir ini. Di situ ada kopi, gula, dan air. Tapi orang lebih enak menyebutnya dengan kopi. Yang lain tidak perlu disebut."
"Ya, iyalah. tanpa gula, kopi tetap kopi. Tanpa air, kopi juga masih kopi."
"Tanpa kopi, Gula juga tetap gula. Tanpa kopi, air juga tetap air. Tapi di sisi lain, aku ingin bertanya. Oh, tidak. Begini saja, coba urutkan, mana diantara komposisi tersebut yang lebih banyak dimanfaatkan orang?"
"Air, gula, kemudian kopi."
"Ya, benar. Kalau menurut urutan, urutan pertama yang paling banyak dimanfaatkan orang adalah air, kemudian nomor dua adalah gula, dan yang terakhir adalah kopi itu sendiri."
"Trus?"
"Kau kenal cak Munir?
"Cak Munir yang suka membela orang lemah itu? yang kasus pembunuhannya ga jelas itu, ya? Kalau cak Munir yang itu, aku tahu"
"Iya, benar. Kau tahu cak Munir, Kau tahu Habibie, kau tahu bagaimana para petani di desa-desa bekerja keras, kau tahu nasib guru-guru, kau juga tahu nasib para TKI/TKW di luar negeri. Kau tahu semuanya. Kau seorang pengamat sosial yang hebat."
"Haha.."
"Ini serius. Ga usah tertawa."
"Ok"
"Sekarang aku tanya kepadamu? Dapat apa mereka dari pemerintah?"
"I don't know"
"Apa yang harus dilakukan pemerintah?"
"Gak eruh"
"Apa yang harus kita lakukan"
"Embuh"
"Dodol sia'. Huh..."
Kami berdua pun tertawa.
"Hahahahahahahahahahahahaahahhaahahahahahahahahaha"
Benar. Semakin bertambah umurku, semakin bertambah juga keinginanku untuk kembali ke masa-masa yang telah lewat. Masa-masa yang seharusnya hanya menjadi kenangan. Lalu seorang teman menegur.
"Sudahlah, masa-masa yang telah lewat itu tidak akan ada gunanya kau kenang. Hadapi yang ada di hadapanmu sekarang"
Aku tidak menghiraukannya. Otakku masih terus berputar. Seperti kepingan cd yang berputar kencang di dalam cd room. Membaca masa-masa yang menyenangkan, mengesankan, menyedihkan, dan juga membosankan. Kemudian aku tersenyum-senyum sendiri.
"kamu sudah gila, ya? Ga ada angin, ga ada hujan senyam-senyum sendiri"
Lalu aku melihat ke arah temanku itu. Menatapnya tajam. Sambil tetap menyunggingkan senyuman yang masih belum kuubah. Temanku langsung menggerak-gerakkan tangannya di depan mukaku. Mungkin ia mengira aku sedang kesurupan. Melihat reaksinya yang demikian, kuubah raut mukaku menjadi seorang yang sinis. Tak ada senyum lagi.
"Kamu kenapa?" Ia melihat ke arahku dengan serius. Heran. Tidak biasanya.
Kemudian aku merasa bahwa waktunya sudah tepat. Waktu untuk menyampaikan apa-apa yang sedang bergejolak dari kolaborasi antara hati dan otakku.
"Begini kawan. Kalau kau mengira aku sudah gila, aku memang gila. Kalau kau mengira aku sudah edan, aku memang edan. Kalau kau mengira aku sudah tidak waras, aku memang tidak waras."
Mendengar ucapanku, ia tersenyum. Kemudian tertawa cekikikan. Namun, sebelum ia menyelesaikan tertawanya itu, aku melanjutkan ucapanku.
"Tapi lihatlah kopi ini," Lanjutku. Ia terpaksa mengakhiri tertawanya. Dan kembali memperhatikan aku.
"Kopi yang aku buat ini. Kopi yang telah aku campur dengan gula, lalu kusiram dengan air yang telah aku didihkan ini. Sebelumnya aku mau bertanya? Kau menyebut ini apa?"
"Apa, ya? Ya, Kopi."
"Hmm. Kalau begitu kau sama denganku. Tapi kalau kopi ini aku campur lagi dengan susu?"
"Ya, kopi susu"
"Ya, kopi susu. Aku rasa kau sudah bisa menangkap. Tapi itu tidak penting. Aku hanya ingin mengajakmu mengembara sejenak. Ke negeri kita. Negeri dimana tidak ada penghargaan sama sekali kepada orang yang banyak bermanfaat bagi masyarakat luas. Negeri dimana tidak ada penghargaan yang layak kepada orang-orang yang telah banyak bejasa bagi negeri itu sendiri. Negeri kita, Indonesia. Aku melihatnya seperti kopi ini. Semakin banyak manfaat yang telah diberikan, semakin tidak dihargai. Namun, ketidak hadirannya akan selalu diperbincangkan banyak orang."
"Maksudmu?"
"Kau tahu komposisi yang berada di dalam cangkir ini. Di situ ada kopi, gula, dan air. Tapi orang lebih enak menyebutnya dengan kopi. Yang lain tidak perlu disebut."
"Ya, iyalah. tanpa gula, kopi tetap kopi. Tanpa air, kopi juga masih kopi."
"Tanpa kopi, Gula juga tetap gula. Tanpa kopi, air juga tetap air. Tapi di sisi lain, aku ingin bertanya. Oh, tidak. Begini saja, coba urutkan, mana diantara komposisi tersebut yang lebih banyak dimanfaatkan orang?"
"Air, gula, kemudian kopi."
"Ya, benar. Kalau menurut urutan, urutan pertama yang paling banyak dimanfaatkan orang adalah air, kemudian nomor dua adalah gula, dan yang terakhir adalah kopi itu sendiri."
"Trus?"
"Kau kenal cak Munir?
"Cak Munir yang suka membela orang lemah itu? yang kasus pembunuhannya ga jelas itu, ya? Kalau cak Munir yang itu, aku tahu"
"Iya, benar. Kau tahu cak Munir, Kau tahu Habibie, kau tahu bagaimana para petani di desa-desa bekerja keras, kau tahu nasib guru-guru, kau juga tahu nasib para TKI/TKW di luar negeri. Kau tahu semuanya. Kau seorang pengamat sosial yang hebat."
"Haha.."
"Ini serius. Ga usah tertawa."
"Ok"
"Sekarang aku tanya kepadamu? Dapat apa mereka dari pemerintah?"
"I don't know"
"Apa yang harus dilakukan pemerintah?"
"Gak eruh"
"Apa yang harus kita lakukan"
"Embuh"
"Dodol sia'. Huh..."
Kami berdua pun tertawa.
"Hahahahahahahahahahahahaahahhaahahahahahahahahaha"