<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d35515654\x26blogName\x3dSeruput\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://seruput.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://seruput.blogspot.com/\x26vt\x3d-8552764801363357580', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>


Ya Sudahlah

Cup, cup, sayang. saya tahu kamu sedang lapar. Jangan teriak-teriak lagi ya biar ga tambah lapar. Kita juga harus tahu diri, kita ini orang kecil. Mereka hanya punya dua telinga. Mereka tidak akan mendengarkan kita. Ah, sudahlah. Semua orang tahu kalau orang-orang pemerintahan kita itu tidak tahu diri. Mereka sudah lupa dengan pemilu kemarin. Bahwa mereka pernah mengemis minta dukungan. Biarkan mereka berfoya-foya di depan mata kita, toh kalau kita berteriak juga percuma. tidak akan pernah didengarkan. Hanya menghabiskan tenaga.

Kita juga pernah mendengar bahwa negara kita adalah salah satu penyandang gelar "terbodoh". Pantaslah, kalo untuk memberikan kesejahteraan buat rakyat mereka tidak bisa melakukannya. Mereka hanya bisa melakukan itu untuk dirinya sendiri. Untuk kepentingan pribadi. Cukup sudah, kita tidak bisa melawan. Ngapain lagi, mau apa? Kewajiban kita sebagai warga negara hanya punya KTP, selebihnya adalah urusan pribadi kita. Negara tidak wajib memberi kesejahteraan untuk rakyat. Pemerintah hanya mengawasi orang-orang yang dianggap sebagai teroris, orang kaya*untuk dikeruk kekayaannya* dan bukan kita, rakyat miskin. Mereka tidak perduli dengan warga yang miskin, perduli apa? Saudara bukan, kerabat juga bukan. Yang penting keluarga kenyang, yang lain......... hehehe cari duit sendiri-lah. Pekerjaan? Tidak perlu negara memberikan lahan pekerjaan, biar rakyat yang membuat lapangan pekerjaan sendiri. Pemerintahan "INDONESIA SEBAGAI PAJANGAN" biar pantas di sebut sebagai negara republik. Mereka memang pandai, pintar, lincah, tapi tidak berguna. Tidak heran kalau Aceh menginginkan kemerdekaan. Karena sebagai rakyat INDONESIA mereka merasa tidak merdeka. Ya, sudahlah, mereka tidak akan pernah merasa kehilangan sebelum semuanya hilang.

coba jika seluruh propinsi meminta kemerdekaannya, jawa, lombok, sumatra, kalimantan, madura, semuanya menginginkan kemerdekaan. Mungkin indonesia hanya tinggal jakarta, karena hanya jakarta yang mereka rawat, sehingga pemerintah indonesia harus mempunyai visa jika mau ke jawa, ke Bogor, ke Lombok. mereka tidak akan sadar dengan negara kesatuan sebelum kesatuan itu terancam. Ingat dengan sebuah pulau kecil yang menjadi rebutan INDONESIA-MALAYSIA kemarin. ya begitulah, serakah, sok mengakui padahal tidak diurus. Negara terkaya dengan sumber daya alamnya, bisa terkapar karena lapar. sangat menyedihkan!!!!

Bayi-bayi indonesia hanya diwarisi dengan tumpukan utang, kasian deh lo!!!

YA SUDAHLAH.............
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

Fri Dec 22, 11:21:00 PM

Phie', nih ada cerpen yang sangat menarik sekali untuk dibaca. Cerpen ini punya temanku, keren lho! Kamu bakal ngiri deh sama alur dan literatur kepenulisannya. Sueeeerrrrrr keren sekali broooooook...

***

( MENULIS DI ATAS BATU )

"Andai penyesalan datangnya tak belakangan, kisah ini tak akan pernah kutuliskan pada sebuah batu. Sayang, bahasa tak sanggup sepenuhnya mewakili apa yang aku rasa. "

Waktu itu usianya 16 tahun. Ibarat bunga, kuncup itu baru akan memulai rekahnya. Kepolosannya memancing penasaran kumbang-kumbang yang datang. Maryam, nama gadis itu kini tak bersekolah lagi. Ia memupus cita-citanya. Keinginan menjadi polisi terkubur bersama jasad ayahnya yang tertimbun longsoran pasir di kaki bukit.

Tio, Laki-laki yang beruntung memetik kuntum bunga itu. Tentu saja, ia berasal dari kota. Pakaiannya bagus. Kulitnya bersih. Sementara pesaingnya hanya pemuda-pemuda kampung sederhana. Saingan terberatnya kala itu anak kepala kampung yang mempunyai sepeda motor dan bapaknya yang punya berpetak-petas sawah.

Perkenalan Maryam dengan Tio terjadi pada saat ia berada di terminal. Ibunya menyuruh menjual perhiasan warisan dari neneknya. Ia tampak kebingungan ketika bus yang di tunggu-tunggu tak muncul. Gelap sudah merambat naik. Dari arah yang tak di duganya, Tio menawarkan diri untuk mengantarnya.

Sejak pertemuan itulah keduanya makin akrab. Maryam kini makin pintar berdandan. Tiap Sabtu, Maryam duduk manis di emperan rumahnya menunggu kekasihnya. Ia membayangkan oleh-oleh yang akan diterima sore itu. Minggu Tio membawakan alat make up dan pakaian yang modelnya aneh bagi orang-orang kampungnya. Ia kini biasa memakai celana pendek dan kaos ketat tanpa lengan.

Kini ia lebih seksama memperhatikan bunga mekar sore (Mirabilis jalapa L.) yang berderet di pagar depan rumahnya. Kedatangan kekasihnya selalu berbarengan dengan mekarnya bunga yang berwarna kuning berbentuk terompet itu. Atau paling lambat bersamaan dengan munculnya iring-iringan blekok di awan yang membentuk huruf V.

Ibu Maryam tak kalah suka. Melihat anaknya yang sebentar lagi mendapat jodoh, perempuan berambut kelabu itu menyemai harapan. Beban hidup keseharian sejak ditinggal suaminya pergi, bakal ada yang menggantikannya. Dan yang lebih melegakan, anaknya tak akan mendapat julukan perawan tua.

"Maryam, hati-hati dengan orang kota. Mereka itu heyna yang menjelma kelinci," begitu salah satu tetangganya mengingatkan.

Maryam tak mengacuhkannya. Ia menduga tetangganya hanya iri melihat hubungannya dengan Tio. Laki-laki yang selalu bersepatu mengkilat itu kini malah sering menginap di rumah Maryam. Malam itu bulan bulat sempurna.

"Maryam, apa yang kau lihat di bulan itu?". Tio makin mendekapkan tangannya.

"Kata ibuku, juga orang-orang kampung ini, itu bidadari yang menunggu kekasihnya."

"Begitu setia ia. Kau tau sampai kapan?"

Maryam tak menjawab. Perempuan itu hanya memandang tajam kekasihnya. Duduk keduanya makin merapat. Mereka kini berbincang tak memakai kata-kata. Keduanya saling tahu apa yang semestinya disampaikan. Lalu terjadilah peristiwa yang diinginkan itu.

Esoknya, Tio menyampaikan keinginannya untuk mencarikan pekerjaan Maryam. Perempuan itu ragu. Namun Tio tak kurang akal. Ia menceritakan pengalaman keberhasilannya membantu orang-orang yang ingin bekerja. Ia mengaku mempunyai kenalan di kota yang sanggup menyalurkan pekerjaan.

"Tak ada yang bisa dilakukan di kampung ini, selain hanya di sawah yang hanya sepetak. Di kota, ia bisa berhasil". Begitu rayuan kepada calon mertuanya.

Perempuan itu tetap menolak. Ia malah meminta Tio menikahi Maryam. Menurut kebiasaan orang-orang kampung tersebut, sudah sepantasnya gadis seumuran Maryam menikah. Tio menyanggupinya, tapi tidak sekarang. Pada kedatangan minggu berikutnya, Tio menunjukkan kesungguhannya. Ia membawakan cincin kawin kepada Maryam. Tak hanya itu, ia menyelipkan amplop, sejumlah uang.

Malam itu, ibu Maryam mengadakan selamatan. Tetangga semua diundang. Melalui nasi kuning yang dibagikan, doa-doa dipanjatkan oleh sesepuh kampung. Udara dingin itu bertambah senyap ketika terdengar suara-suara burung emprit gantil. Tit.. tit... tit.... Menurut cerita burung pisosurit adalah jadi-jadian seorang pemuda yang cintanya kandas. Tiap malam pisosurit menyanyikan lagu dendam cintanya yang tak kesampaian. Di akhir acara, semua peserta membawa satu bungkus "berkat" untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Celaka, Maryam tak bisa berangkat esoknya. Aparat kampung menolak permintaanya untuk membuat ktp dan surat keterangan. Ia masih terlalu muda untuk bekerja. Saya menduga aparat memang sengaja mempersulit hal yang remeh-temeh tersebut. Tio tampak terbiasa memahami sebenarnya kemauan aparat. Cukup dengan beberapa lembar puluhan ribu, Tio mengurusnya. Cepat dan tak berbelit-belit. Tampaknya Tio memang ahlinya.

Perempuan tua itu berdiri. Ada senyum yang tertahan di bibirnya. Ada genangan air di kelopak mata bawahnya. Anak satu-satunya terpaksa ia lepaskan hari itu. Keduanya berpelukan lama. Perempuan yang ditinggalkan itu menatap Maryam dan Tio sampai keduanya menghilang di kelokan jalan. Maryam sesekali menoleh ke belakang, seolah mengucapkan selamat tinggal kepada kampungnya, kepada ayam-ayam juga kepada bunga-bunga mekar sore.

"Sudahlah Maryam, kamu masih bisa pulang setahun sekali nanti", bujuk Tio.

"Bang Tio dulu juga merasakannya?"

"Yang lebih penting, kamu cepat mendapatkan pekerjaan itu. Orang tuamu akan senang."

Sesampainya di kota, keduanya menemui Udin. Menurut Tio ia nanti yang akan mengurus keberangkatannya ke Malaysia. Dengan alasan mengurus pekerjaan lain, ia meninggalkan Maryam. Ia berjanji akan segera kembali ketika urusannya sudah selesai.

Tanpa sepengetahuan Maryam, Udin membisikkan kata-kata asing. Bahasa aneh yang tak tak dipahami Maryam. Begitu Tio pergi, Udin langsung mengajak Maryam pergi. Dengan menumpang bajai, sampailah ke sebuah rumah besar. Pagarnya setinggi orang dewasa. Tampak beberapa satpam menjaga rumah itu. Tanpa kesulitan, Udin dan Maryam melenggang melewati pemeriksaan. Rupanya Udin sudah terbiasa memasuki rumah bercat putih itu. Ada papan nama di depannya. Sebuah tempat pusat kebugaran.

Udin bergegas meminta resepsionis untuk memanggilkan Ibu Mamay, pengelola dan pemilik tempat ini. Perempuan gendut berkulit putih itu mengamati Maryam dari bawah pelan-pelan meramabt sampai ujung rambutnya.

"Tidak begitu jelek!, katanya.

Sambil tangannya terus bergerak-gerak, Ibu Mamay mulutnya nyerocos mirip nenek-nenek bawel yang memarahi cucunya. Ia mmenjelaskan, sebelum berangkat ke Malaysia, Maryam dan perempuan-perempuan lainnya lebh dulu menunggu di tempat ini. Udin sedang mengurus prosesnya. Ketika beres, semua akan diberangkatkan.

Ibu Mamay lalu mengantar Maryam menuju ke kamarnya. Ternyata rumah ini sangat panjang ke belakang. Terdiri dari dua bagian. bagian depan dan bagian belakang. Dipisahkan oleh ruang terbuka yang berumput hijau. Mirip asrama. Ada kamar-kamar tak berpintu, hanya berkorden warna putih. Setelah melewati pintu besi yang di kunci dengan gembok besar, di situlah kamar pribadinya. Di kamar belakang itu juga telah berkerumun perempuan-perempuan seumuran dia bahkan ada yang lebih muda. Mereka sedang menunggu untuk diberangkatkan ke luar negeri.

Kontras dengan kamar-kamar tak berpintu di ruang depan, kamar ini sempit, 3 x 4 meter saja. Di dalamnya hanya ada ranjang susun yang jumlah tingkatnya empat. Dan sebuah lemari kecil. Jumlah kamar tidurnya sangat kurang. Kebanyakan mereka tidur di lantai. Nyaris keributan terjadi setiap pagi memperebutkan kamar mandi yang jumlahnya hanya empat. Padahal jumlah perempuan yang menghuni tempat itu sekitar seratus orang.

Jam, hari dan minggu berlalu. Perempuan-perempuan malang itu hanya bisa pasrah menunggu. Mereka dilarang ke luar rumah. Ketika mereka menanyakan Ibu Mamay, jawabannya selalu sama. Suratnya masih dalam proses.

****

Malam itu Maryam berada dalam sebuah aquarium bersama perempuan-perempuan yang memakai baju minimalis. Tampak sebuah tanda warna merah muda yang terbuat dari plastik tertempel di pinggul sebelah kiri. Sebuah nomor yang memudahkan para laki-laki ketika menginginkan, tinggal menyebutkan nomornya.

Wajah-wajah perempuan itu mirip pantat kunang-kunang, lebih bersinar dalam keremangan lampu. Irama lagu "anggur merahnya meggy Z" menyibak asap yang mengepul-ngepul dari bibir-bibir yang berbentuk sosis.

Di ruangan itu, Maryam merasa seperti seekor tikus yang berada di kandang seekor ular sanca. Ia mondar-mandir, mencari-cari celah yang bisa dimanfaatkan untuk kabur. Nyaris tak ada. Para penjaga selalu sigap dengan hidung anjingnya. Mereka selalu mengendus gerak-gerik perempuan-perempuan yang berada di dalam kaca tersebut. Bahkan ketika ada tamu yang mem"booking" nya untuk diajak keluar, beberapa body guard itu pun akan mengikutinya dari belakang.

Diluar tampak para lelaki melambatkan langkahnya sambil matanya menoleh ke samping kiri atau kanan. Maryam selalu deg-degan menunggu panggilan dari speaker yang berada di atasnya. Sosok laki-laki dalam angannya tiba-tiba menjadi sosok iblis. Sebagai pendatang baru, Maryam selalu paling pertama mendapapatkan "job" selama dua bulan ini.

Namun malam itu ia ogah-ogahan. Ia tak pernah menerima hasil desah payahnya . Semua masuk ke kantong Mamay. Ketika Maryam memerlukan uang, Mamay hanya memperbolehkan kas bon. Menurut Mamay, uang yang masuk itu nyaris habis untuk jatah orang-orang turut melakukan dirinya. Sopir taksi yang yang mengantarkan tamu-tamu, polisi yang menjaga keamanan dan petugas kesehatan yang memeriksanya tiap minggu.

Nyalinya menyempit ketika ia ingat tak tahu harus kemana ia menuju. Kota ini asing, ia tak punya kenalan atau saudara. Jangan-jangan seperti yang ia lihat di tv malam lalu, seorang di bunuh di sebuah taman kota setelah di perkosa ramai-ramai. Dan kalaupun ia bisa pulang, bagaimana ia akan menjawab pertanyaan ibu dan tetangga-tetangganya?

Ketika para penjaga lunglai, menyerah pada kantuk yang menyerang, Maryam nekat memanjat diding yang tingginya nyaris lima meter. Dengan memakai tangga yang tak terpakai, hanya Maryam yang berani kabur dari tempat pemasungan itu. Sampai juga ia ke kantor polisi. Ia melaporkan praktek prostitusi yang berkedok rumah pengobatan.

Polisi tak begitu antusias menanggapi laporan itu. Maryam seperti ikan yang menyongsong bubu. Polisi merasa tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan teman kencan malam itu. Maryam lalu dibawa ke bilik sebelah dalam. Tak ada orang lain. Polisi itu berjaga sendirian. Maryam lepas dari kandang macan tercebur ke laut tempat hiu-hiu putih berpesta. Paginya, Polisi mengantar tubuh Maryam yang pingsan ke tempatat ibu Mamay.

Tio lenyap. Tak pernah sekali pun ia melihat lagi. Laki-laki tempat ia menggantungkan masa depannya itu memerangkap dirinya. Maryam menunduk, pasrah entah sampai kapan. Ia terus menuliskan kisahnya pada sebuah batu. Ia berharap kelak orang yang membacanya tak terjebak seperti dirinya.    



» Post a Comment