Syauqie Bisa Naik Sepeda
Saturday, September 14, 2019
“Ayah, aku
udah bisa roda dua dong” begitu ucapnya dengan polos.
“O ya”
“Iya dong,
nanti ayah lihat ya”
“Oke”,
tangan kuangkat sebagai isyarat untuk tos. Dia pun menyambutnya dan langsung
semangat memukulkan tangannya menuju tanganku.
Tangannya
mungil, tapi semangat belajarnya begitu besar. Ingin membuktikan bahwa dia
bisa. Mungkin. Padahal umurnya masih sangat belia. Hebat.
Tahun lalu,
waktu masih berumur 4 tahun, dia selalu minta sekolah. Aku tidak
mengizinkannya. Karena menurutku, umur segitu lebih baik belajar di rumah. Saya
memahami karakter bocah satu ini. Gampang bosan. Yang aku takutkan nanti ketika
sudah memasuki usia belajar malah bosan. Makanya, aku mulai mengajarinya untuk
tidak bosan dengan kegiatan.
“Ayo, Ayah.
Lihat aku!” serunya.
“Baiklah," sambil mengambil smartphone aku melangkah mengikuti langkah mungilnya.
Kami menuju
halaman rumah. Dia mengambil sepeda kecil berwarna merah muda agak terang. Lalu
menaikinya. Dan bersiap untuk mengayuh sepeda itu.
“Kan, aku
bisa kan, Ayah” Serunya sambil mengayuh sepeda.
“Wuih,
Syauqi hebat, coba terus muter,” seruku.
Aku melihat
Syauqie mengayuh sepeda berputar di halaman komplek dengan lincahnya.
Aku salut
karena waktu seumuran dia, aku sama sekali belum bisa bersepeda. Bahkan aku
belajar sepeda pada saat aku kelas 3 SD mau naik kelas 4 SD. Itupun terjatuh
berkali-kali. Sampai pernah menabrak mikrolet. Lecet di bagian dengkul yang
cukup parah, sampai bikin ibuku menangis. Ya, Syauqie lebih hebat dari aku,
Ayahnya.
Sebenarnya,
sepeda yang dipakai ini bukanlah sepedanya sendiri. Sepeda yang aku belikan
berwarna merah, roda empat. Dua roda besar di depan dan belakang. Dan roda
kecil di samping kiri dan kanan roda besar belakang. Hanya saja, sepeda yang
aku belikan ini sering dibuat untuk eksperimen oleh Syauqie. Aku sering melihat
sepeda merah itu posisinya ditidurkan, lalu diotak-atik entah diapain. Ketika
aku Tanya, dia selalu menjawab ringan, “dibengkelin, Yah”. Dan aku hanya
tersenyum sambil melihat dia sibuk memutar-mutar obeng berlaga seperti seorang
teknisi.
Mungkin
anak ini mau jadi enginer. Pikirku dalam hati. Ah tidak. Hatiku membantah. Aku
dulu juga sering bongkar-bongkarin tape, radio dan alat elektronik. Tapi aku ga
jadi teknisi. Hehehe
“Ayah, aku kemarin juga
naik sepeda ini,”
“Iya,”
“Iya, tapi
sekarang aku sudah capek”
“Ya udah, berhenti
mainnya, taruh sepedanya”
Bocah
mungil itu kemudian menaruh sepedanya di tempat semula. Kemudian dia masuk ke
dalam rumah.
Aku bersyukur, anak ini punya kecerdasan kinetik
yang bagus. Keseimbangan berpikir yang luar biasa.
Suatu waktu, aku pernah melihat, betapa
sabarnya bocah mungil ini terhadap kelakuan adiknya. Pernah Ia didorong oleh
adiknya sampai terjatuh dan terbentur tembok. Yang dia lakukan adalah langsung
berdiri. Lalu mengatakan, “Jangan begitu, Dek. Nanti kalau aku sakit gimana?”.
Suaranya memang waktu itu agak tinggi. Menandakan orang yang marah. Tapi
menurutku, sikapnya yang tidak membalas kelakuan adiknya adalah sebuah nilai
kesabaran tingkat dewa untuk anak seumurannya.
Ya, dia telah bersikap dewasa. Bukan karena ia tidak
berani atau mampu membalas. Tapi mungkin karena ia merasa, yang melakukan
adalah saudaranya. Adiknya sendiri. Di luar itu, jika adiknya diganggu
siapapun, dialah yang maju membela. Memperingatkan dan menasehati orang
tersebut, bahkan sampai memukulnya.
Nak, masamu masih sangat panjang. Semoga kau
akan menjadi solusi di masamu nanti. Ayah selalu mendoakan yang terbaik
untukmu.
Allahumma faqqihhu fid dien
Robbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrota a'yun
waj'alna lilmuttaqiena imama