Aku Bukan Leo
Lumpur hitam yang tiba-tiba berubah warna menjadi abu-abu itu, bagiku adalah sebuah pertanda, sebuah perasaan yang kemudian kusebut dengan firasat. Ah, kenapa juga aku menafsirkannya sebagai pertanda atau perasaan yang kusebut dengan firasat. Lumpur hitam yang tiba-tiba berubah warna menjadi abu-abu itu memang agak aneh. Tapi siapa yang menyangka, kalau ternyata kejadian seperti itu benar-benar ada. Jujur, kejadian itulah yang menginspirasiku untuk selalu menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya; merampungkan semua tugas sebelum batas waktu yang telah kutentukan sendiri. Karena aku takut, tiba-tiba nanti berubah pikiran yang akhirnya aku tidak bisa menyelesaikan tugas itu dengan sempurna. Aku takut lumpur hitam itu segera berubah menjadi abu-abu. Aku tidak rela. Sejak menyaksikan kejadian itulah, aku tidak pernah merasakan himpitan, beban, atau sering disebut oleh kawan-kawan sebagai momok; Deadline.
Tapi entahlah, sampai saat ini, aku masih belum mau menyelesaikan hubunganku denganmu, Dek.
Ya, setidaknya aku punya alasan yang cukup kuat untuk menjawab pertanyaan gila itu. Aku masih ingin menikmati hubungan kita yang seperti ini, ini. Ya, aku masih ingin menikmati hubungan yang kaubilang agak ‘ganjil’ ini. Maaf, aku bukan Leo.
Tapi entahlah, sampai saat ini, aku masih belum mau menyelesaikan hubunganku denganmu, Dek.
Ya, setidaknya aku punya alasan yang cukup kuat untuk menjawab pertanyaan gila itu. Aku masih ingin menikmati hubungan kita yang seperti ini, ini. Ya, aku masih ingin menikmati hubungan yang kaubilang agak ‘ganjil’ ini. Maaf, aku bukan Leo.