Tentang Orang2 di Kairo
Cukup banyak cerita. tapi tidak semuanya bisa diceritakan dengan baik. Bisa saja cerita-cerita itu malah bukan mencerahkan, tapi membuat kacau balau.
Tapi cerita yang ingin aku sampaikan ini, kurasa tidak akan membuatmu muntah karena mual mendengarnya. Juga tidak akan pening memikirkannya. Cerita ini cerita biasa; cerita tentang orang-orang di sini; di Kairo.
Ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di bumi kinanah ini, aku merasa sangat jengah. Lebih dari itu, aku merasa sangat benci dengan tingkah polah dan kepongahan kota ini. Sungguh teramat berat hidup di kota ini. Keras.
Paling tidak, aku punya beberapa alasan untuk membenci kota ini.
Pertama, semrawutnya lalu lintas yang selalu membuatku tidak tenang jika bepergian, walaupun hanya sebatas ke kampus. Dan tentu saja, alamat mobil lecet, dari mobil terbaru sampai yang paling kuno adalah pemandangan yang tidak aneh. Kalau terserempet, cukup katakan ma'alesy. Urusan beres.
Kedua, sistem administrasi yang masih mempertahankan gaya kuno. Manual. Jadi, urusan yang seharusnya selesai hanya dalam lima menit, bisa memakan sampai beberapa hari. Cukup untuk dijadikan alasan bahwa hal yang remeh temeh itu memang cukup merepotkan. Pemborosan waktu.
Ketiga, Perangai orang-orangnya yang senga' álias menyebalkan, membuat tensi darah selalu naik ke ubun-ubun kepala. Cuman, karena aku orang timur --bukan timur tengah--, jadinya aku berusaha untuk tetap bersabar.
Ya, cukup aku sebutkan tiga saja --bukankah kamu pernah bilang, bahwa banyak itu adalah lebih dari dua. Aku setuju denganmu. Lebih dari satu itu masih belum bisa dibilang banyak--, biar kamu setuju, bahwa memang banyak ketimpangan di kota ini. Dengan banyaknya tantangan yang membuatku tidak suka itu, aku mencari hal-hal yang bisa membuat aku betah tinggal di bumi seribu menara ini. Diantaranya adalah murahnya ilmu pengetahuan. Kuliah gratis, murahnya harga buku, dan murahnya berbagai fasilitas komunikasi.
Tapi aku tetap saja heran. Murahnya segala sesuatu, tidak menjadikan negara Piramida ini negara berkelas. Masih banyak pribumi yang masih hidup terlantar di tepi jalan.
Lalu aku berpikir dengan setengah keras. Lebih keras. Lebih keras lagi. Akhirnya aku menemukan jawaban.
Walau tidak semuanya, orang Mesir itu malas bekerja. Mereka hanya bangga dengan segala sesuatu yang telah diturunkan oleh generasi sebelumnya.
Sesuatu yang yang membuatku ngakak. Ada seseorang yang menuduhku sebagai pencuri, karena aku mendapatkan beasiswa dari Azhar. Menurutnya, aku adalah pencuri. Karena, merekalah yang seharusnya lebih berhak atas jerih payah bangsanya itu. Lho, aku jadi bingung sendiri. Aku tidak peduli.
Lalu ada lagi yang bilang, orang China itu perampok. Alasannya karena produknya banyak beredar di negerinya ini.
Fiuh...Wis embuh-kah...
Tapi cerita yang ingin aku sampaikan ini, kurasa tidak akan membuatmu muntah karena mual mendengarnya. Juga tidak akan pening memikirkannya. Cerita ini cerita biasa; cerita tentang orang-orang di sini; di Kairo.
Ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di bumi kinanah ini, aku merasa sangat jengah. Lebih dari itu, aku merasa sangat benci dengan tingkah polah dan kepongahan kota ini. Sungguh teramat berat hidup di kota ini. Keras.
Paling tidak, aku punya beberapa alasan untuk membenci kota ini.
Pertama, semrawutnya lalu lintas yang selalu membuatku tidak tenang jika bepergian, walaupun hanya sebatas ke kampus. Dan tentu saja, alamat mobil lecet, dari mobil terbaru sampai yang paling kuno adalah pemandangan yang tidak aneh. Kalau terserempet, cukup katakan ma'alesy. Urusan beres.
Kedua, sistem administrasi yang masih mempertahankan gaya kuno. Manual. Jadi, urusan yang seharusnya selesai hanya dalam lima menit, bisa memakan sampai beberapa hari. Cukup untuk dijadikan alasan bahwa hal yang remeh temeh itu memang cukup merepotkan. Pemborosan waktu.
Ketiga, Perangai orang-orangnya yang senga' álias menyebalkan, membuat tensi darah selalu naik ke ubun-ubun kepala. Cuman, karena aku orang timur --bukan timur tengah--, jadinya aku berusaha untuk tetap bersabar.
Ya, cukup aku sebutkan tiga saja --bukankah kamu pernah bilang, bahwa banyak itu adalah lebih dari dua. Aku setuju denganmu. Lebih dari satu itu masih belum bisa dibilang banyak--, biar kamu setuju, bahwa memang banyak ketimpangan di kota ini. Dengan banyaknya tantangan yang membuatku tidak suka itu, aku mencari hal-hal yang bisa membuat aku betah tinggal di bumi seribu menara ini. Diantaranya adalah murahnya ilmu pengetahuan. Kuliah gratis, murahnya harga buku, dan murahnya berbagai fasilitas komunikasi.
Tapi aku tetap saja heran. Murahnya segala sesuatu, tidak menjadikan negara Piramida ini negara berkelas. Masih banyak pribumi yang masih hidup terlantar di tepi jalan.
Lalu aku berpikir dengan setengah keras. Lebih keras. Lebih keras lagi. Akhirnya aku menemukan jawaban.
Walau tidak semuanya, orang Mesir itu malas bekerja. Mereka hanya bangga dengan segala sesuatu yang telah diturunkan oleh generasi sebelumnya.
Sesuatu yang yang membuatku ngakak. Ada seseorang yang menuduhku sebagai pencuri, karena aku mendapatkan beasiswa dari Azhar. Menurutnya, aku adalah pencuri. Karena, merekalah yang seharusnya lebih berhak atas jerih payah bangsanya itu. Lho, aku jadi bingung sendiri. Aku tidak peduli.
Lalu ada lagi yang bilang, orang China itu perampok. Alasannya karena produknya banyak beredar di negerinya ini.
Fiuh...Wis embuh-kah...