Terserah Kamu
Sore menjelang malam. Kira-kira jam lima seperempat, aku pergi ke sebuah daerah yang sudah lama tidak aku kunjungi. Hay Tsamin.
Ada yang lain. Penampilanmu berubah. Istrimu juga sudah lebih ramah dari yang dulu. Aku tidak bertanya kenapa istrimu bisa sejinak ini? aku juga tidak bertanya engkau kasih ramuan apa sehingga istrimu semanis hari ini? Aku juga tidak menanyakan tentang anakmu yang semakin tembem itu. Semuanya itu tidak penting. Amat sangat tidak penting. Ya, semuanya jadi tidak penting dibanding dengan betapa segarnya wajahmu saat ini. Tidak seperti dulu. Kusut, dekil, kumuh. Mungkin karena jarang mandi. Tapi sekarang kau kan punya istri, punya anak, masa mau tetap seperti dulu. Saat kau masih bujangan? Nggak kan?
Yang membuatku semakin terkesima itu, bukan hanya itu saja. Yang membuat aku harus mengacungkan semua jempol yang aku punyai, juga menepukkan kedua tanganku ini, lantaran kau juga menjadi seorang takmir masjid di samping rumahmu itu. Itu sebenarnya yang membuat aku semakin tidak bisa berkata apa-apa. Kau telah berhasil menjadi dirimu sendiri. Melakukan sesuatu demi dirimu dan dirinya yang telah menyatu. Hebat.
Aku di sini seperti seekor kecoak yang tidak bisa berkutik. Bertindak, harus mengikuti kemauan orang. Sementara itu, hatiku meronta-ronta menuntut kemerdekaan. Mungkin aku ini seorang pengcut, yang punya baju 'sok idealis'. Menyuruh orang untuk berbuat baik, tapi aku sendiri tidak pernah berbuat baik. Atau mungkin karena aku ini memang tidak bisa menjadi orang baik. Lalu apa?
Aku bilang 'terserah kamu' pada seseorang, lalu aku katakan lagi kepada yang lain, kepada yang lain lagi, dan begitu seterusnya. Kemudian aku jelaskan dengan berbagai alasan, yang entah aku mendapatkan ilham darimana waktu itu. Pada saat melontarkan kata-kata, sepertinya lidahku ini ada yang menuntun. Halah... Pokonya begitu deh. Ga panjang lebar.
Aku telah berhasil membuat orang menjadi dirinya dengan mengatakan 'Terserah kamu'. Aku bilang "Jadilah dirimu sendiri. Apa yang menurutmu baik, lakukanlah. Karena orang yang mengambil keputusan itu lebih dihargai ketimbang orang yang diam dan hanya mengekor. Orang yang mengambil keputusan, dan salah, dia masih mempunyai nilai ketimbang orang yang diam tidak bertindak. Minimal mendapatkan satu pelajaran penting di dalam hidupnya. Apalagi kalau keputusannya itu benar"
Ya, kan?
Ga kan?
Terserah kamu
Terserah kamu
Ya udah
Ya udah
Hehehe
Ga juga, ga papa
sial
sial juga
huh
Ada yang lain. Penampilanmu berubah. Istrimu juga sudah lebih ramah dari yang dulu. Aku tidak bertanya kenapa istrimu bisa sejinak ini? aku juga tidak bertanya engkau kasih ramuan apa sehingga istrimu semanis hari ini? Aku juga tidak menanyakan tentang anakmu yang semakin tembem itu. Semuanya itu tidak penting. Amat sangat tidak penting. Ya, semuanya jadi tidak penting dibanding dengan betapa segarnya wajahmu saat ini. Tidak seperti dulu. Kusut, dekil, kumuh. Mungkin karena jarang mandi. Tapi sekarang kau kan punya istri, punya anak, masa mau tetap seperti dulu. Saat kau masih bujangan? Nggak kan?
Yang membuatku semakin terkesima itu, bukan hanya itu saja. Yang membuat aku harus mengacungkan semua jempol yang aku punyai, juga menepukkan kedua tanganku ini, lantaran kau juga menjadi seorang takmir masjid di samping rumahmu itu. Itu sebenarnya yang membuat aku semakin tidak bisa berkata apa-apa. Kau telah berhasil menjadi dirimu sendiri. Melakukan sesuatu demi dirimu dan dirinya yang telah menyatu. Hebat.
Aku di sini seperti seekor kecoak yang tidak bisa berkutik. Bertindak, harus mengikuti kemauan orang. Sementara itu, hatiku meronta-ronta menuntut kemerdekaan. Mungkin aku ini seorang pengcut, yang punya baju 'sok idealis'. Menyuruh orang untuk berbuat baik, tapi aku sendiri tidak pernah berbuat baik. Atau mungkin karena aku ini memang tidak bisa menjadi orang baik. Lalu apa?
Aku bilang 'terserah kamu' pada seseorang, lalu aku katakan lagi kepada yang lain, kepada yang lain lagi, dan begitu seterusnya. Kemudian aku jelaskan dengan berbagai alasan, yang entah aku mendapatkan ilham darimana waktu itu. Pada saat melontarkan kata-kata, sepertinya lidahku ini ada yang menuntun. Halah... Pokonya begitu deh. Ga panjang lebar.
Aku telah berhasil membuat orang menjadi dirinya dengan mengatakan 'Terserah kamu'. Aku bilang "Jadilah dirimu sendiri. Apa yang menurutmu baik, lakukanlah. Karena orang yang mengambil keputusan itu lebih dihargai ketimbang orang yang diam dan hanya mengekor. Orang yang mengambil keputusan, dan salah, dia masih mempunyai nilai ketimbang orang yang diam tidak bertindak. Minimal mendapatkan satu pelajaran penting di dalam hidupnya. Apalagi kalau keputusannya itu benar"
Ya, kan?
Ga kan?
Terserah kamu
Terserah kamu
Ya udah
Ya udah
Hehehe
Ga juga, ga papa
sial
sial juga
huh